"Siapa sih dia, Mas? Kayaknya Mas kenal ya?" tanya Siska istri Bagus tiba-tiba, Â sehingga membuyarkan angannya.
"E ... enggaklah. Tapi kayaknya pernah ketemu, tapi di mana ya, lupa!"
"Belum tua, Mas, sudah pelupa," ledek Siska.
Bagus merutuk diri yang tidak mau jujur sebenarnya dia sangatlah kenal perempuan yang melewatinya tadi.
Lima tahun yang lalu, mereka resmi menjadi sepasang kekasih. Jalinan kasih asmara keduanya ternyata tak direstui oleh orang tua Bagus. Ratna dianggap perempuan yang miskin, tidak level dengan status sosial Bagus yang masih darah biru. Jiwa Bagus berontak, namun keputusan ibu Baguslah yang menentukan.
"Ratna itu punya apa sih, Gus. Dia miskin, keluarganya juga tidak jelas asal usulnya.  Saudaranya juga ada yang cacat. Gimana nanti turunanmu jika kamu nikah dengan dia? Kamu mau anakmu cacat juga?" kata Bu Prawiro dengan ketus. Ratna ingin menutup telinga ketika mendengar kalimat yang dikatakan ibu Bagus saat itu. Sungguh ini merupakan suatu penghinaan keluarga yang tidak bisa ditolelir, namun dirinya  tak kuasa melawan.
Ratna hanya menunduk lesu. Bagi dia, Â ditolak pun tidak masalah, tetapi jangan membawa-bawa keluarga.
Sejak saat itulah, Bagus dilarang menghubungi Ratna lagi, dengan alasan apa pun. Hingga pernikahannya pun tidak diberitahukan pada Ratna. Dibiarkannya Ratna menggantung tanpa hubungan yang jelas. Setelah sekian tahun, Ratna memutuskan untuk melupakan  lelaki pujaannya. Dia lebih fokus pada pekerjaannya.
Ratna memang terlahir dari keluarga yang miskin. Dia empat bersaudara. Wajahnya manis, penampilan cukup, dan yang jelas hatinya baik. Sejak kecil terbiasa hidup susah, jadi masalah-masalah hidup sudah menjadi teman kesehariannya. Berkat kemiskinan dan masalah yang sering dia hadapi itulah kini dia menjadi perempuan yang mapan dan mandiri.
Dia kini mempunyai beberapa toko butik di beberapa kota. Penampilannya tetap low profile, sama sekali tidak menampakkan kesombongan dengan kesuksesannya.
Sementara Bagus melanjutkan usaha keluarga yang telah dirintais oleh keluarganya.