Hal ini terlihat sekali ketika Mas Sony pulang kerja setiap Sabtu sore atau malam. Ibu, meski sudah capai, tetapi selalu menyempatkan diri berbelanja. Ibu sangat paham masakan atau makanan kesukaan  Mas Sony.
Setiap kali Sabtu pagi, aku sempatkan berkunjung ke rumah Ibu, memastikan kesehatannya baik-baik saja. Namun sering aku tidak menemukan beliau. Kata tetangga dekat, Â Ibu sedang berbelanja atau ke warung.
Hm ... ini pasti akan mencari lauk atau sayur kesukaan Mas Sony, pikirku dalam hati.
 Aku istirahat sebentar di rumah Ibu, sambil menunggu kedatangannya.
Benar saja,  dari kejauhan  terlihat sesosok perempuan tua, berkain kebaya membawa satu kantong plastik  berisi lauk dan sayur kesukaan Mas Sony. Aku sebenarnya merasa kasihan pada Ibu, tetapi tawaranku untuk membantunya selalu ditolak halus.
"Dari mana, Bu? Mencari lauk untuk Mas Sony ya?" tanyaku sambil membantu membawakan  tas plastik berwarna putih itu.
"Ya, untuk Sony. Nanti sore kan dia akan datang. Kasihan jika nggak ada lauk kesukaannya."
"Besuk lagi saya bantu, Bu. Kasihan Ibu jika harus ke sana ke mari mencari lauk. Aku kasihan pada Ibu, jika sampai kelelahan dan sakitnya kambuh."
Mas Sony juga merasa sangat diperhatikan Ibu, meski hanya masalah kecil, seperti makanan.
Begitulah Ibu memperlakukan Mas Sony selalu istimewa. Bagiku dan saudara-saudaraku, tidak masalah jika Ibu bersikap begitu. Tidak ada yang merasa cemburu. Justru aku dan saudaraku khawatir dengan kesehatan Ibu yang akhir-ahir ini sering dikeluhkan.
Beberapa waktu yang lalu, ketika Mas Sony berbicara kepada Ibu tentang rencana pernikahannya dengan seorang gadis yang diam-diam dipacarinya, tidak banyak komentar. Namun diam-diam, Ibu mencari informasi jati diri gadis pacar Mas Sony itu.