"Mas, ayo kita cari rumah kontrakan. Aku nggak betah tinggal serumah dengan mertua," keluh Wina istriku sore itu ketika aku pulang kerja.
Ini bukan yang pertama kali Wina memintaku untuk segera pindah, misah dari orang tua. Bagiku, untuk pindah rumah bukan masalah biaya, tetapi sebagai anak, harus juga memikirkan perasaan orang tua.
Kalimat Wina hanya kudengarkan saja. Kubiarkan dia mengeluarkan unek-unek hati  sepuasnya, nanti jika sudah puas, baru akan kujawab semuanya.
Tubuhku begitu letih seharian kerja di kantor. Banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan pagi hingga sore ini hingga kadang makan pun jadi lupa.
Istriku, Wina memang agak cerewet. Aku mengenalnya sejak sekolah dulu, tetapi justru sikapnya yang cerewet ini menarik bagiku.
Dasar perempuan, laki-laki lelah karena pulang kerja, kok malah ditimbuni dengan masalah lagi! keluhku dalam hati.
Kubersihkan badan di kamar mandi. Air yang dingin begitu menyejukkan tubuhku. Kini tubuhku kembali segar.
Secangkir kopi hitam sudah disuguhkan Wina. Wina kunikahi satu tahun yang lalu. Dulu, dia juga bekerja, tetapi selanjutnya setelah disepakati bersama, akhirnya dia istirahat, cukup  mengurus anak-anak dan  rumah.
"Win, sini. Aku mau ngomong, serius nih."
Wina mendekatiku. Tubuhnya disandarkan pada bahuku. Manjanya mulai terlihat nyata.
"Kok, tumben. Biasanya apa yang aku omongkan hanya dianggap angin lalu."