Lelaki Garang
"Mbak, ini putra  yang kecil ya?" tanyaku pada perempuan  berkerudung yang umurnya setahun lebih tua dariku.
"Bukanlah, Mbak. Ini cucuku yang pertama," jawab Mut sambil menyuapi  sayur sop  pada anak perempuan  di gendongan  yang berusia sekitar satu tahun itu.
Kulihat matanya agak juling. Kasihan, mana anak perempuan.
Dialah Mut teman sekolah ketika SD. Setahuku, setelah  tamat SD, sekitar dua tahun  kemudian,  Mut menikah. Suaminya masih tetangga dekat yang sudah cukup umur. Perbedaan umur keduanya cukup banyak.
Aku dan Mut pernah satu kelas, meski tidak begitu dekat, tetapi saling kenal. Dia tipe anak yang pendiam, tidak neka-neka, dan patuh pada orang tua.
"Lo, cucu to? Saya kira anak bungsu," jawabku sambil memilih sayuran yang dijual Mut.
Sebenarnya tiap hari aku sudah langganan berbelanja  di tukang sayur, tetapi melihat temanku juga berjualan, lagi pula dia menanggung cucunya juga,  maka aku sering berkunjung ke warungnya untuk membeli beberapa bahan masakan.
"Anak saya enam, Mbak. Jarak antara anak ketiga dan adik-adiknya sangat jauh. Dulu sih KB, tetapi sudah saya lepas alat kontrasepsinya. Eh, kok tiba-tiba mendapat anak lagi," jelas Mbak Mut sambil terkekeh.
Aku pun ikut tersenyum mendengarnya.
Mut hidup dengan berdagang. Menurut ceritanya, dia berdagang apa pun, mulai dari bakso pentol, bakmi godog, nasi goreng, maupun bakmi goreng. Suaminya seorang tukang kayu. Â Kehidupan Mut terlihat berat menahan beban hidup, tetapi perempuan desa itu cukup tegar. Tidak terlihat gurat derita di wajahnya, meski terlihat lebih tua dari usia sebenarnya.