Mohon tunggu...
Zuni Sukandar
Zuni Sukandar Mohon Tunggu... Guru - Seorang guru SLB

Lahir di Magelang, 20 Mei 1971, SD-SMP di kota yang sama, S-1 di Jogjakarta, saat ini mengajar di SLB Maarif Muntilan sebagai guru tunanetra.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hadiah Gelang Emas

22 Oktober 2020   08:29 Diperbarui: 22 Oktober 2020   08:34 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap kali aku melihat perhiasan berupa gelang, ingatanku kembali ke beberapa tahun yang lalu ketika bersekolah SD dan saat menjadi pengantin baru.

Ketika SD, saat istirahat pertama, seperti teman-teman yang lain, aku bermain di halaman sekolah. Siswa perempuan bermain beregu, permainan tradisional yang lebih banyak menggunakan fisik seperti berlari. 

Ketika tiba giliranku berlari, tiba-tiba salah satu anting yang kupakai jatuh. Untung saja aku mengetahui jatuhnya benda kuning itu. Aku menghentikan permainan itu, dan berlari ke kelas untuk mengambil kertas dan membungkus anting yang jatuh sekaligus melepas anting yang lain. Kusimpan rapi kedua anting itu di dalam tas sekolah. 

Sampai di rumah, aku sampaikan peristiwa di sekolah tadi pagi, meski ada rasa takut kena marah Ibu. Seketika itu juga langsung kuserahkan benda itu pada beliau. Aku nggak mau terbebani dengan logam kuning itu untuk selalu menjaganya.

Sebagai pengantin baru, aku diberi sebuah hadiah oleh kakak perempuanku, berupa gelang emas. Saya tidak paham beratnya berapa gram. Gelang bermotif kotak itu diberikan beberapa hari menjelang pernikahan.

Maksud kakakku mungkin agar tidak terlihat polos sekali. Maklum saja, kata kakakku, meski diriku seorang perempuan, tapi  tomboy. Temanku pun banyak yang laki-laki. Makanya kadang ada teman yang sering berkomentar  kepadaku, karena sikapku yang seakan tidak dapat membedakan mana lelaki spesial atau hanya sekedar teman saja.

"Kamu tuh, ya, mbok ya pintar bersikaplah. Harusnya kamu sudah dapat membedakan mana pacar dan mana teman," protes salah satu teman laki-lakiku yang sering melihat sikapku dalam bergaul yang dirasa kurang pas.

Aku pun kurang begitu paham apa maksud kalimatnya. Yang aku tahu, bahwa bersikap baik pada semua orang itu merupakan hal wajib dalam hidup.

Lama aku berpikir dan memahami kata-kata temanku tadi.

Apa aku salah dalam bersikap? Ah, entahlah, bikin aku bingung saja, pikirku dalam hati.

Beberapa hari setelah menikah, aku bermaksud jalan pagi bersama suami, sekaligus mengenal lingkungan baru tempat tinggal. Kupakai kaos lengan panjang warna abu-abu. Aku dan suami mengitari desa yang masih sangat alami, banyak sawah dan tumbuhan hijau.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun