"Mas, tuh Ibu datang lagi. Kenapa sih tiap hari datang ke sini? Apa gak ada kerjaan lain? Mengganggu banget! Pasti mau minta uang ya, Mas?" Gerutu Nin sore itu pada suaminya yang baru saja masuk ke rumah sepulang dari kerja.Â
Omelan Nin tak segera ditanggapi suaminya. Wajah Rahmat sore itu terlihat mendung, tapi Nin tidak mau tahu.  Rahmat pun  segera ke belakang. Dia tidak mau menambah masalah dengan menanggapi keluhan istrinya.
Baju Rahmat yang masih berbau keringat karena seharian dipakai kerja segera dilepas dan dilemparkan ke ember cucian. Segera diambilnya handuk yang tergantung di dekat kamar mandi lalu menyegarkan diri mandi mengguyur seluruh tubuhnya.Â
Bu Trini, mertua Nin memang setiap sore hari menyempatkan diri berkunjung ke rumah Rahmat. Perempuan berusia enam puluh tahun itu hanya memiliki dua anak lelaki. Rahmat dan Soleh, keduanya sudah menikah. Rumah Rahmat berjarak  tidak jauh dari ibunya, jadi wajar saja jika Bu Trini setiap hari dapat berkunjung sekedar menyapa kedua cucunya yang manis dan lucu.
 Namun kunjungan Bu Trini sering tidak dikehendaki Nin, yang berbuntut terjadi pertengkaran kecil di rumah Rahmat.
"Mas, kok gak pernah ditanggapi sih keluhanku? Mbok ya dengarkan aku! Aku tuh tidak suka Ibu sering ke sini, dekat dengan anak-anak. Pakai bawa makanan kecil juga. Atau jangan-jangan Mas Rahmat sudah gak peduli denganku ya?"
"Ya Allah, Nin, istigfar dong! Aku tuh dengar apa yang kamu omongkan. Keluhanmu dan segala tetek bengeknya, hanya saja badanku capai, jadi untuk apa menanggapimu, malah bisa jadi racun di tubuhku."
"Tuh, kan. Bener, kan!"
"Nin, sini, saya mau ngomong serius," pinta Rahmat sambil menggandeng lengan Nin, menuju kursi kayu di ruang depan  jauh dari anak-anak yang sedang menikmati acara TV.
"Ih, apaan, sih Mas."
"Dengar, Nin, sayangku. Ibu tuh ke sini bukan mau minta uang atau yang lain, tapi kangen dengan anak-anak kita. Ingat, Ibu kan sekarang sendiri setelah ditinggal wafat Bapak. Jadi wajar saja merasa kesepian. Makanya anak-anak kadang diminta untuk tidur ke rumah Mbahnya. Hilangkan tuh buruk sangkamu," jelas Rahmat panjang lebar sambil memegang tangan Nin manja. Nin lalu dikecupnya.