Mohon tunggu...
Zul Majjaga
Zul Majjaga Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

AM. Sukri Sappewali, Politisi Berkarakter Hitam Putih

23 Oktober 2015   10:44 Diperbarui: 23 Oktober 2015   10:44 340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Jika anda bertanya pada filsuf politik Italia, Niccolo Machiavelli tentang bagaimana seharusnya karakter seorang politisi, maka niscaya ia akan menjawab bahwa “Tabu” hukumnya jika seorang politisi berkarakter “Hitam-Putih”. Dalam wawancara imajiner saya dengan filsuf kelahiran Florence, Italia, 1469 silam ini, ia berkata, “hanya politisi kolotlah yang masih mempertahankan karakter “Hitam-Putih”.

Dalam karyanya The Prince (Sang Pangeran) yang dinilai kontoversial itu Machiavelli mengajarkan bahwa seorang penguasa yang ingin tetap berkuasa dan memperkuat kekuasaannya haruslah menggunakan tipu muslihat, licik, dan dusta, bahkan jika perlu melakukan kekejaman dengan kekuatan yang dimiliki.

Meski menuai kecaman dan cibiran atas karyanya, tetapi harus diakui bahwa ajaran Machiavelli merasuk dan menukik jauh kedalam sentrum perpolitikan dunia menjadi suatu warna karakter yang telah diamini oleh khalayak. Seseorang yang melakukan dusta di kancah politik, oleh khalayak dianggap biasa-biasa saja. Demikian halnya dengan pelaku-pelaku politik. Jika mereka melakukan kebohongan, bahkan penyesatan argumentasi untuk melegitimasi sikap politiknya dianggap wajar-wajar saja. “Namanya juga politik,” begitu kira-kira kata mereka.

Tidak banyak di antara pelaku-pelaku politik yang lolos dari ajaran Machiavelli. Sehingga golongan yang tidak banyak ini kerap dianggap lugu, kolot, dan semacamnya karena tidak mampu berbohong untuk menyenangkan semua orang. Hal yang sama dialamatkan pada golongan ini bahwa mereka tidak akan mampu mengelola konflik dan consensus sebagaimana yang dipersyaratkan oleh dunia politik.

Dari sudut pandang saya, masih ada dua orang politisi yang saya yakini berkarakter “Hitam-Putih”. Mereka adalah Ketua Dewan Pembina Parti Gerindra, Prabowo Subianto dan Purnawirawan TNI yang kini menjadi politisi, AM. Sukri Sappewali.Kedua politisi ini akan mengatakan “Hitam” atau “Putih” terhadap sesuatu. Tidak ada wilayah abu-abu.

Beredar cerita pada saat pilpres kemarin, Tim pemenangan Prabowo-Hatta mengusulkan agar segala jalan ditempuh untuk meraih kemenangan. “Apapun itu harus kita lakukan, termasuk dengan kelicikan dan cara-cara kasar. Ini penting demi kemenangan,” kata salah seorang petinggi pada tim pemenangan Prabowo-Hatta.

Tetapi, oleh Prabowo, usulan itu ditolak mentah-mentah. “Kita semua pasti memimpikan untuk menang. Tetapi menang dengan cara bermartabat. Apalah arti kemenangan jika diraih dengan cara-cara curang?” konon, begitu kata Prabowo menanggapi usulan itu.

Mirip tapi tak sama, hal yang terjadi pada figure AM. Sukri Sappewali. Ketidak-biasaannya meng-IYA-kan hal-hal yang bertentangan dengan nurani membuatnya dilabeli sebagai politisi arogan, angkuh, dan semacamnya. Apa yang menurutnya “Tidak” tidak akan pernah berubah menjadi “IYA”.
Ada satu pegangan moral yang selama ini diyakini olehnya adalah bahwa kalimat yang terlanjur terucap oleh mulut adalah sebuah janji yang harus dipenuhi. Tidak ada lagi ruang negosiasi untuk membatalkan ucapan itu. Sebuah karakter yang nyaris punah oleh badai zaman, justru kukuh bertahta dalam sanubari seorang AM. Sukri Sappewali.

Ini bukan pujian karena Pilkada. Sama sekali bukan. Ini adalah semacam desakan moral bagi saya untuk mengatakan yang sebenarnya, bahwa sosok Prabowo Subianto dan AM. Sukri Sappewali adalah wujud KESATRIA POLITIK. Dua sosok yang menurut saya lebih tepat jika disebut sebagai negarawan ketimbang politisi.

Tidak mudah memang menyandang karakter seperti ini. Berbagai hujatan, cacian, bahkan tipu muslihat akan hadir mengangkangi jalan dan lorong yang dilalui. Tetapi bukankah kelicikan Sengkuni pada akhirnya kalah dan harus rela melihat Yudhistira bertahta di atas singgasana Hastinapura?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun