"Fakta akan mempengaruhi orang berakal sehat dalam membuat keputusan, dan jurnalis bertanggungjawab untuk hal itu."Â
(Zulkarnain Hamson)Â
FORENSIK adalah bidang ilmu yang mengatasi masalah hukum dan forensik yang melibatkan analisis juga interpretasi bukti untuk membantu pengadilan membuat keputusan yang adil. Forensik  merupakan cabang kedokteran yang mempelajari dan menggunakan metode ilmiah untuk mengumpulkan, menganalisis, dan menafsirkan bukti medis yang berkaitan dengan investigasi kriminal dan tuntutan hukum. Ini melibatkan pengumpulan berikut analisis bukti medis seperti tes darah, sidik jari, juga tes Deoxyribose Nucleic Acid (DNA) untuk membantu memecahkan kasus.Â
- - - - - - - - - -
Saya sedang membuka file tentang fakta berita, di ruang diskusi terbuka Kafe Baca, di bilangan Jalan Adhiyaksa, Kota Makassar, ketika Koordinator Satupena Sulsel, Rusdin Tompo tiba. Beberapa jam sebelumnya Dr. Fadli Andi Natsif , tenggelam Bersama saya dalam perbincangan seputar kampus dan perkuliahaan. Kehadiran Rusdin, membuat diskusi semakin semarak, dan dari mulutnya terbesit kata 'Forensik Jurnalisme, sebagai jawaban atas rencana judul buku yang sejak 2019 awal, tidak kunjung selesai. Argumentasi Rusdin, 'Forensik Jurnalisme' adalah teknik investigasi jurnalistik yang menggunakan metodologi dan prinsip-prinsip forensik untuk mengungkap fakta dan informasi penting dalam investigasi berita.
Tidak jauh dari pemikiran saya tentang penggalan pilar jurnalistik, diantaranya fakta, dimensi, etika, genre, platform dan masih banyak lagi sisi kehidupan dan tumbuh kembang jurnalisme dengan berbagai fenomenanya, membutuhkan penelusuran, penelitian, penjabaran dan pemaknaan, sehingga firkah yang terserak itu, menjadi bangunan utuh karakter jurnalisme Indonesia yang mungkin saat ini masih bergerak liar mencari bentuknya. Sebagai praktisi media dengan pengalaman sekira 27 tahun, saya tentu membutuhkan pemikir lain yang memiliki perspektif lebih kritis. Ruang pengabdian pada jurnalisme membawa saya pada kenyataan kita sedang hidup dalam 'ketidakpastian' saat kepemilikan media melonjak tidak terkendali, saat itu juga 'kematian' manajemen media berbasis internet (online) terjadi dengan begitu mudah.Â
Senja kala surat kabar, tabloid, majalah, telah menjadikan ruang percetakan yang dulunya megah, ibarat besi rongsokan menunggu proses 'mutilasi' menjadi besi tua untuk ditimbang kilo. Mungkin tidak sedramatik itu, tetapi mata dan tangan manusia diera digital, telah menggeser peran bersejarah mesin cetak. Bagaimana dengan jurnalis Jawabanya 'penuh ketidakpastian' masa keemasan stasiun televisi, memang belum berakhir, radio juga tak kunjung mati seperti ramalan puluhan tahun silam, platform internet telah menginjeksi energi baru, yang pasti mimpi bayaran honor tinggi liputan, dari manajemen media kian mengarah pada kecemasan.Â
Serombongan anak milenial, telah berdiri di emperan toko, caf, mall, dan koridor kampus, mereka sedang 'merampas' kerja para reporter, kameramen, fotografer dan jurnalis tulis, laporan mereka tidak ubahnya saluran televisi, radio komersial, langsung dari lokasi peristiwa. Untuk itu tidak diperlukan modal miliaran rupiah, cukup berbekal ponsel pintar, dan seperangkat platform digital murah, bahkan gratis. Ann Luce, Daniel Jackson, Einar Thorsen melalui penelitian mereka mengungkapkan, di tengah berkembangnya literatur tentang jurnalisme warga, kita masih tahu relatif sedikit tentang bagaimana dan mengapa kelompok yang benar-benar terpinggirkan berusaha menggunakan bentuk pelaporan jurnalisme untuk menantang pengucilan mereka, di era digital.
Mark Griffith, Daria Kuss di penelitian terbaru mereka di 2020, menemukan kenyataan Situs jejaring sosial online (SNS) telah mendapatkan popularitas yang meningkat dalam dekade terakhir, dengan individu yang terlibat dalam SNS untuk terhubung dengan orang lain yang memiliki minat yang sama. Kebutuhan yang dirasakan untuk online dapat mengakibatkan penggunaan SNS secara kompulsif, yang dalam kasus ekstrim dapat mengakibatkan gejala dan konsekuensi yang secara tradisional dikaitkan dengan kecanduan. Kita mendapati kenyataan mereka memainkan peran jurnalis.
Saya tak kuasa menolak ketika Koordinator Satupena Sulsel, Rusdin Tompo lantas ikut menyampaikan, buku saya ini akan jadi bahan diskusi saat "Hari Pers Nasional" Februari 2023 ini. Buku ini setidaknya mengorek lebih dalam tentang Empat fakta dalam jurnalisme, juga mengurai setidaknya 15 item yang terkadung dalam fakta itu. Sejumlah teori dasar oleh para begawan komunikasi saya jadikan rujukan untuk menguatkan argumentasi, tetapi layaknya ilmu, akan terus bertumbuh, para penulis buku jurnalistik di luar sana telah mendahului saya atau mungkin belum mengeluarkan karya mereka. Saya memohon izin kepada para guru, kolega dan sahabat, semoga buku ini bermanfaat.