MULUT penjaja bubur keliling itu, mengeluarkan cairan merah, tubuh ringkihnya menggelantung di pagar kantor Partai Politik (Parpol) di sudut pasar rakyat, Kota Watampone, saat nyawanya terlepas terdengar suara pelan dari bibirnya, bur..bur..bur.. air sungai jernih di sisi pasar mengalir tenang, orang-orang ramai di atas jembatan berteriak-teriak, seperti kesetanan, marah, mereka mencari pengikut 'capeddi' dalam bahasa Bugis artinya 'cap padi'. Tahun 1966, seluruh tanah air seperti 'mendidih' ribuan nyawa meregang di jalan-jalan kota juga desa. PKI dan pengikutnya harus dibersihkan.Â
- - - - - - - - - - - - -
Mata saya berkaca-kaca, dadaku terasa sesak saat mendengarkan cerita ibu mertua pada peristiwa itu, orang-orang saling tuding, dan Mas penjual bubur yang telah bertahun-tahun berdagang bubur di Bone jauh merantau meninggalkan kampung halamannya di Jawa, harus menerima resiko mahal, ia terbunuh. Orang-orang diamuk amarah pada Partai Komunis Indonesia (PKI), ketika itu sangat berkuasa.Â
Semua yang dianggap atau dicurigai pengikut dikejar dan dihabisi dengan cara sadis. Kekuasaan dan politik kembali 'memakan' anak-anak bangsa yang tak bersalah. "Politik itu kejam" seperti syair lagu milik Iwan Fals. Tidak politik itu baik, jika manusia yang membawanya punya moral. Politik itu mulia jika manusia yang mengendarainya berderajat mulia.Â
Saya menelusuri jejak cerita kelam, peristiwa sadis seputar turunnya Presiden Sukarno dari tampuk kekuasaan, saya semakin terkejut saat mendapati kisah tumpukan mayat yang diangkut mobil truk, di jalan-jalan kota, desa dan hingga saat ini tak tahu dimana kuburannya. Kisah itu saya dapati dari saksi mata yang bertutur bahkan orang-orang yang bukan dari barisan 'cap padi' ikut terbunuh, dendam telah memperoleh jalannya untuk berakhir, mereka yang bermusuhan saling fitnah, saling tuding, daftar panjang nama-nama dibuka, mereka dicari untuk dihabisi.Â
Penjara kota diserbu, kakek Andy F. Noya presenter terkenal itu adalah kepala penjara di Kota Watampone, ia bertahan agar para tahanan tidak boleh dikeluarkan, namun upayanya gagal ia juga ikut terbunuh, 2 hari setelah itu jasadnya diangkut dan hingga kini tak diketahui dimana makamnya.Â
Beberapa penulis sejarah menuliskan, Presiden Sukarno bahkan menangis, beliau meminta agar kekejaman itu segera dihentikan. Kolonel Suharto menerima Surat Perintah 11 Maret (SUPERSEMAR) kepadanya diamanahkan untuk mengendalikan situasi tanah air yang terus memburuk, institusi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) menderita, sejumlah perwira dan jenderalnya ikut terbunuh, itulah yang memicu gejolak.Â
Tetapi tak berdiri sendiri, situasi sosial ekonomi bangsa saat itu sedang 'sakit' rakyat menderita, sejarawan Anhar Gonggong menuliskan di salah satu naskahnya, rakyat frustasi menghadapi tekanan sosial ekonomi dan membuncah saat peristiwa malam kelam 30 September terjadi. PKI tidak sabar, mereka bernafsu menggulingkan Presiden Sukarno, dan skenario itu salah sasaran.Â
Para sejarawan menulis PKI ingin mengubah agar ideologi Pancasila menjadi komunis. PKI saat itu merupakan salah satu partai terbesar di Indonesia dengan menempati posisi keempat pada Pemilihan Umum (PEMILU) tahun 1955. Posisi PKI semakin kuat dengan gencar melakukan mobilisasi massa dan mendapat dukungan Presiden Sukarno, yang berdalih demi merawat keutuhan bangsa, setiap orang dan paham punya tempat untuk berbuat bagi negara.Â
Niat baik Presiden Sukarno dimaknai salah dan mereka bertindak berlebihan. Faktor utama jadi penghalang gerakan mengganti Pancasila adalah ABRI, maka dilakukanlah upaya membunuh para jenderal, tetapi skenario itu jadi bumerang, rakyat yang anti PKI ikut bergabung bersama-sama melawan dominasi partai besar itu.Â