Binokular Negara Dalam Perspektif Fakta Jurnalisme, Bagian Ke-2
MASYARAKAT atau dengan kata lain publik, adalah warga negara, memiliki hak dalam menyampaikan pendapat, hak berbicara itu diatur dalam ketentuan Undang-Undang (UU), bagian dari jaminan negara pada warga negara. Pendapat warga negara pada setiap peristiwa dan mendapat tempat pada berita, dikategorikan sebagai Fakta Publik. Persaksian itu dapat digunakan jurnalis dengan batasan-batasan yang terukur, rasional, baik substantif maupun non substantif, diukur dengan keterwakilan proporsional suara yang menjadi pilihan jurnalis.
- - - - - - - - - - -
Terdapat banyak kasus pemberitaan dengan latar gambaran penolakan publik (rakyat) pada negara melalui kebijakan. Sebagai contoh isu kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dengan mengutip pernyataan menteri atau presiden, disikapi beragam pada kelompok masyarakat, yang diuntungkan, bisa saja menyatakan dukungan pada kebijakan itu, dan pada kelompok masyarakat yang tidak diuntungkan respon sebaliknya akan terjadi. Teks media harus berhati-hati dalam memilih fakta publik, jika terjadi generalisasi prematur maka fakta publik dimaknai "masyarakat puas" karena media mengabaikan ada rasa tidak puas oleh sebagian lainnya. Demikian  pula sebaliknya dengan penggunaan kalimat berita "masyarakat menolak". Teropong media harus bisa presisi (tepat) sebagai gambaran realitas secara menyeluruh.
Saya mencoba mengurai fakta publik dalam buku "Forensik Jurnalisme: Membedah Fakta Berita." Dengan pembagian sbb; 'pendapat publik', 'aspirasi publik', 'emosi publik', 'kegembiraan publik' dan 'generalisasi fakta publik' yakni; generalisasi salah, prematur, fenomena, deskriptif, tidak paripurna, paripurna dan generalisasi ilmiah. Binokular negara kaitannya dengan fakta jurnalisme, yakni negara diharapkan mampu meneropong harapan rakyat melalui pemberitaan. Dikarenakan terkait emosi publik negara melalui jajaran aparat negara, juga birokrasi dapat dengan tepat menaikkan kepuasan publik dan meminimalisir ketidakpuasan, sehingga tujuan bernegara dalam bingkai demokrasi bisa tercapai.
Kekeliruan generalisasi (menyimpulkan) bisa saja terjadi pada rakyat, juga pada negara. Negara bisa menarik kesimpulan namun jika itu prematur, maka diperlukan solusi lain. Semua kebijakan pada publik harus ditujukan pada timbulnya rasa puas. Kalau ia malah membuat gaduh (ketegangan dan konflik), maka bisa dipastikan regulasi atau kebijakan keliru. Mengapa keliru, karena tujuan bernegara adalah menjaga ketenangan dan ketentraman, jika negara memicu keributan, kita bisa segera menyimpulkan ada kesalahan pada proses atau tahapan lahirnya kebijakan. Pekan ini kembali ramai diberitakan "Seteru Dua Kubu Kadin", Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) membuat Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia terbelah menjadi 2, kubu Anindya Bakrie dan Arsjad Rasjid.
Dualisme kepemimpinan Kadin itu, bakal ganggu penetapan upah minimum, ada dua kepentingan pada upah minimum, publik sebagai penerima manfaat standar upah, dan negara sebagai kunci pengatur kebijakan sistem upah. Publik melihat kehadiran negara sebagai pembela hak para buruh dan pekerja, melalui perlindungan atas otoritas dan sikap sewenang-wenang pengusaha, dalam hal upah. Pengusaha melihat negara sebagai pembela dan pelindung hak-hak mereka, kenyamanan, adil, tentram, selama proses jalannya investasi bisnis dan usaha. Negara sebagai pengatur tidak boleh hanya meneropong pada kepentingan pengusaha saja, sebaliknya juga tak bisa hanya fokus ke hak (upah) pekerja saja. Semoga saja kisruh Kadin, tak disusupi 'tangan-tangan' oknum negara.
Menjamin keadilan dan hukum itu tugas negara, demikian kata John Locke, dalam bukunya "Two Treatises of Government" terbit 1689, menyatakan bahwa fungsi negara adalah untuk melindungi hak-hak alamiah individu, seperti halnya hak atas kehidupan, kebebasan, dan properti (kepemilikan). Negara dibentuk melalui kontrak sosial, di mana individu-individu menyerahkan sebagian kebebasan mereka kepada negara untuk memastikan bahwa hukum ditegakkan secara adil dan hak-hak mereka dilindungi. Tidak hanya itu, negara menyediakan kesejahteraan dan Layanan Publik. Demikian John Stuart Mill, dalam bukunya "On Liberty" tahun 1859, negara tidak hanya harus menjaga ketertiban dan melindungi kebebasan, tetapi juga mempromosikan kesejahteraan rakyat, ikut campur tangan untuk bisa memastikan bahwa layanan publik pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur tersedia bagi semua warga negara.
Makassar, September 2024
Zulkarnain Hamson
Penulis Buku: "Etika Jurnalistik: Pengalaman dari Lapangan."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H