Mohon tunggu...
Zulkarnain Hamson
Zulkarnain Hamson Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Ilmu Komunikasi

Saya adalah dosen dengan latar belakang jurnalis selama 27 tahun

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Fakta Empirik Negara

28 September 2024   19:22 Diperbarui: 29 September 2024   00:31 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Binokular Negara Dalam Perspektif Fakta Jurnalisme, Bagian Ke-1

KONSEPSI negara menurut sejarah kelahirannya dapat kita merujuknya pada catatan Jean Francois Champollion, seorang ahli bahasa Prancis terkenal karena berhasil menguraikan 'Hieroglif Mesir Kuno' dengan mempelajari 'Batu Rosetta' pada 1822, dan keberhasilannya 'membuka pintu' lebih luas bagi para sejarawan, guna membaca tumpukan naskah   kuno Mesir, dan memberi wawasan tentang sejarah Mesir Kuno. Tentu saja saya lebih percaya pada trik akademisi bidang politik, dalam meramu literasi di bidang kajian mereka.

- - - - - - - - - - -

Binokular (teropong) ini diawali gagasan Barun Andi Iskandar (Bang Ayung), memintaku untuk memulai berdiskusi soal problematika istana menjelang sisa waktu turunnya Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo (Jokowi). Saya tentu tak punya 'ilmu' untuk bisa meneropong istana. Maka tawarannya jatuh pada analisa teks media, memakai pola pendekatan fakta-fakta dalam berita. Ajakan Bang Ayung lebih pada menguji isi buku saya "Forensik Jurnalisme: Membedah Fakta Berita" yang terbit belum lama ini.  Satu ujian yang tak bisa kutepis begitu saja, terlebih selama ini saya cukup memiliki banyak kawan ahli di bidang publik (layanan negara dan pemerintahan) sekalipun mungkin apa yang ada dalam pikirannya, lebih luas dari yang kupikirkan.

Binokular rakyat di luar pagar istana, tentu harus sama dengan teropong istana pada rakyat. Masalah mulai muncul ketika teropong keduanya tidak bisa bekerja sebagaimana mestinya. Hal itu dimulai dari penggunaan teropong yang berbeda antara yang di luar pagar dan di dalam istana. Analogi Bang Ayung sebagai praktisi film, layaknya dalam pemakaian rasio gambar, framing yang umum digunakan 'wide' atau 16 banding 9 (horizontal). Akan tetapi ketika kebijakan itu ingin dijalankan, rasio harus dibalik menjadi 9 banding 16, atau vertikal. "Meneropong keinginan rakyat harus berperspektif luas, karena bangsa Indonesia heterogen (bhinneka). Teropong milik istana itu haruslah fokus, pada setiap item detail kebutuhan rakyat.

Menurut Thomas Hobbes, dalam "Leviathan" buku itu terbit 1651, fungsi utama negara adalah; "untuk menjaga ketertiban dan melindungi masyarakat dari kekacauan dan konflik." Hobbes berpendapat bahwa tanpa negara, manusia akan hidup di dalam keadaan "perang semua melawan semua" (state of nature) di mana kehidupan dipenuhi kekerasan dan tidak aman. Oleh karenanya, negara harus memiliki otoritas kuat dan untuk memastikan keamanan juga stabilitas. Coba kita dekati dengan teks media pada otoritas, jawabannya benar sebagian besar media juga menggambarkan hal itu. Otoritas negara juga pemerintah sangat kuat. Namun pada kekacauan dan konflik, teropong menggambarkan hal berbeda. Beberapa kekacauan justru dipicu kebijakan negara.

Media, Jurnalisme dan fakta-fakta pembangunnya meneropong negara tidak semata pada fungsinya, melainkan juga pada data-data dan angka-angka tentang negara. Secara substansi itulah yang kita namai sebagai emprik. Menjadikan sentuhan indra manusia pada rangsangan kemunculan negara, tak semata-mata berkutat soal sejarah awal peradaban atau perebutan wilayah, bahkan lebih jauh kedalam religiusitas, juga entitas suatu masyarakat, pada periode awal kehadiran manusia di bumi. Dalam masyarakat Bugis Makassar, misalnya dikenal pula kedatangan pemimpin dengan cara yang goib. "To Manurung" (Orang diturunkan), dipercaya datang dari  langit, saat suatu wilayah tak punya pemimpin.  Hingga cerita awal peradaban di belahan benua lain, berproses menuju terbentuknya negara.

Peradaban awal, seperti Mesopotamia, Mesir Kuno, dan Cina Kuno, mulai muncul ketika masyarakat menetap di satu wilayah, membentuk komunitas yang lebih besar. Mulai mengembangkan sistem politik, ekonomi, serta hierarki sosial. Di masa itu, kerajaan-kerajaan besar terbentuk, dan kekuasaan biasanya berpusat pada raja atau penguasa yang dianggap sebagai perwakilan Tuhan. Negara Feodal lahir setelah runtuhnya beberapa kerajaan besar, terutama di Eropa, muncul sistem feodalisme di mana kekuasaan tersebar antara tuan tanah yang memiliki wilayah kekuasaan dan rakyat, bekerja untuk mereka. Sistem itu juga terlihat di Jepang dengan adanya samurai dan shogun. Sampai saat datang perang dan penaklukan, banyak negara  terbentuk. Kekaisaran Romawi dan Ottoman juga perang besar seperti Perang Dunia I dan II, di mana batas-batas wilayah diatur ulang.

Makassar, September 2024
Zulkarnain Hamson

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun