BERJALANLAH maka engkau akan bertemu banyak manusia, bermakna dengan itu wawasan dan jiwa, juga ikut bertumbuh. Pendidikan bukanlah sekolah, ia adalah sejumput peristiwa hidup yang dialami dan dijalani, melalui persentuhan diri kita dengan lingkungan dan manusia-manusia, baik maupun buruk, begitu barangkali yang dimaksud Aristoteles, filsuf kenamaan dunia melalui kalimatnya.
- - - - - - - - - - -
Waktu menunjukkan pukul 23.45, sebentar lagi hari berganti, saya masih membaca berita demonstrasi mahasiswa yang berujung ricuh, mereka berteriak meminta kekuasaan untuk tunduk pada kehendak rakyat. Ada juga berita mahasiswa tepat di depan kampus tempat saya mengajar berdemo, isunya berbeda dengan kawan-kawan mereka di flayover.Â
Berita dua demonstrasi itu, saya baca dan ternyata ditengarai mahasiswa disusupi kepentingan lain. Isi berita menyebutkan ada agenda merusak citra Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Sulsel, sedang di kampus saya ada agenda merusak citra Dekan. Benarkah demo mahasiswa disusupi kepentingan lain?. Saat saya menjabat Wakil Rektor IV tahun 2019-2021, di Universitas Indonesia Timur (UIT), saya semakin paham bagaimana pola demonstrasi sering terjadi.
Saya mencoba kembali ke tahun 1992, di kampus Universitas Hasanuddin, ketika masih mahasiswa, kerusuhan besar pecah karena mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), sedang bersiap menghadapi mahasiswa Fakultas Teknik. Masalah timbul akibat arak-arakan penyambutan adik-adik Mahasiswa Baru (Maba) FISIP yang diajak senior berkeliling kampus dipimpin Jasruddin Djabbar memicu kemarahan mahasiswa Teknik.Â
Maka mulai terjadi ketegangan, dan berujung pada terbakarnya kampus Teknik. Sehari sebelumnya, karena Senat Mahasiswa kosong (dibubarkan), maka sebagai pengurus lembaga kemahasiswaan, Ketua Korps Mahasiswa Ilmu Komunikasi (KOSMIK) saya diminta dosen Andi Sangkuru, menjabat.
Penunjukan Ketua Presidium Senat FISIP, didasari alasan, saya sebagai pemimpin lembaga setingkat Himpunan Jurusan (di bawah Senat), berusia lebih (angkatan 1987), sedangkan saat itu ketua-ketua himpunan jurusan lain, dijabat angkatan 1988. Pengukuhan berlangsung di ruang belakang sospol, menjelang magrib, dan oleh dosen Andi Sangkuru, saya ditugaskan menemui pimpinan mahasiswa Teknik, terutama ketua Opspek agar pembagian area jemput adik-adik Maba Sospol tetap di Pintu 1 Unhas. Sehari sebelumnya panitia Teknik, sudah mengancam akan ribut jika Maba Sospol masuk melalui Pintu 1. Singkat cerita akhirnya pertemuan disepakati di depan Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM), Teknik diwakili Gope bersama 5 rekannya, saya datang bersama 4 junior.
Negosiasi dengan kawan Gope, berlangsung alot, saya sedikit lebih mengalah dengan nada rendah, sebaliknya Gope yang dikenal jago berkelahi tetap dengan nada tinggi. 5 mahasiswa Teknik yang ikut bersama Gope, satu diantaranya memegang stik softball, dua lainnya memegang tongkat, saya mulai membayangkan batok kepala saya dihajar pakai alat itu.Â
Tetapi Amir Saripuddin dan 3 rekannya tidak kalah ngotot, tanpa saya ketahui rupanya di pinggang mereka terdapat badik. Sungguh sesuatu yang sangat mendebarkan membayangkan jika saja, saat itu terjadi adu fisik. Tubuh saya yang kecil akan bonyok dihajar tongkat. Nego itu berjalan buntu, dan kami tetap bertemu di Pintu 1.
Arak-arakan adik Maba sospol mulai ricuh saat mahasiswa fakultas Teknik menyerbu, sebagai ketua Presidium Senat, saya tak bisa mengelak harus berada di depan gedung pusat bahasa Unhas, menerima serangan pertama. Kata dosen Andi Sangkuru, "Kalau kau lari saya tempeleng mukamu" dan hasilnya saya terus bertahan sampai akhirnya  kerusuhan membesar, mahasiswa Sastra, dan Ekonomi juga Hukum mulai bergabung, Teknik terdesak dan diserang masuk ke kampus mereka.Â