JACQUES Derrida telah berjasa memberikan istilah kepada kita, dalam upaya memaknai, memahami realitas politik, melalui jalan berfikir filsafat yang ditekuninya. Mengapa penting, karena dewasa ini telah terjadi ketidakdewasaan berdemokrasi. Publik terbelah (terkotak) dalam fanatisme buta, akibatnya jangankan kritik, bertanya saja akan bisa disambut dengan respon sangat 'keras' sebagai contoh, sejak kemarin status saya dikomentari dengan kata kasar, Â semisal 'anj*ng' atau 'dosen stress' bahkan kamu akan 'dijemput'.
- - - - - - - - - - - -
Dalam kamus hidup saya, kritik hanya terlarang bagi Orangtua, Nabi dan Rasul, juga Tuhan. Selain itu tidak. Jadi terlalu berlebihan jika ada pihak yang bisa dengan arogan mengeluarkan kalimat ancam, intimidasi atau tekanan baik verbal maupun fisik. "Kehormatan itu hanya ada pada pribadi terhormat" bukan yang "gila hormat." Pemimpin itu hukumnya wajib ditaati dan dihormati, tetapi belum selesai, karena ada syaratnya; harus jujur, adil dan amanah. Juga tidak pembohong, kalau saja syarat itu tidak dipenuhi seorang pemimpin akan dengan sendiri mengalami kehilangan kewibawaan, kharisma, dan tentu di mata publik, terlihat seperti badut atau pemain sandiwara (sinetron).
Dekonstruksi politik adalah; "Proses analisis kritis terhadap struktur, ide, dan narasi dalam politik dengan tujuan untuk membongkar, dan tentu saja mempertanyakan asumsi dasar, dari kekuasaan yang tersembunyi, dan ideologi mendasarinya." Pendekatan ini berasal dari konsep dekonstruksi yang diperkenalkan oleh filsuf Jacques Derrida, yang awalnya diterapkan dalam bidang filsafat dan sastra. Dalam konteks politik, dekonstruksi sering melibatkan pembongkaran wacana politik yang mapan untuk mengeksplorasi bagaimana ideologi tertentu membentuk kebijakan, kekuasaan, dan identitas. Proses itu tentu bisa mengungkapkan kontradiksi, ketidakadilan, dan manipulasi yang sering tersembunyi dalam narasi politik yang dominan (sengaja dirancang).
Dekonstruksi politik bukan hanya sekadar kritik, tetapi juga membuka ruang untuk interpretasi dan pemahaman baru yang bisa mengarah pada hal penting terkait perubahan sosial dan politik. Pada iklim demokrasi yang sehat (tanpa rekayasa busuk), situasi sosial kemasyarakatan berjalan dinamis dan produktif (menghasilkan hal baik) bagi publik. Tentu sebaliknya, jika desain politik diarahkan berlawanan dengan tujuan negara, juga pemerintahan, maka yang akan terjadi adalah endapan emosional publik dan pada beberapa kasus muncul sebagai gejolak politik. Indonesia mengalami hal itu beberapa kali, dimulai awal kemerdekaan hingga reformasi 1998 dan 1999. Seperti kata Derrida, wacana publik ada dalam situasi kritis, dan berhadapan dengan gaya kontradiktif.
Dalam banyak literasi, diuraikan Dekonstruksi Politik, meskipun bermanfaat dalam mengungkap dan menganalisis kekuasaan tersembunyi serta narasi yang mendasari struktur politik, tentu juga  memiliki beberapa potensi bahaya atau risiko, sebut saja "Relativisme Ekstrem" salah satu kritik utama terhadap dekonstruksi bahwa pendekatan itu dapat menyebabkan relativisme ekstrem, di mana semua ide dan nilai dianggap sama pentingnya tanpa ada hierarki moral atau kebenaran objektif. Hal ini bisa membuat sulit untuk mencapai konsensus atau tindakan kolektif dalam politik. Hal lain yang bisa ditimbulkannya "Kebingungan dan Ketidakpastian" dengan membongkar narasi yang sudah dirancang mapan, dekonstruksi menimbulkan kebingungan atau ketidakpastian mengenai nilai-nilai, identitas, dan tujuan politik.
Akibat lain yang bisa ditimbulkan, terjadinya situasi ketidakstabilan atau hilangnya arah pergerakan politik. Dalam studi komunikasi, diketahui juga bisa memicu penggunaan data untuk tujuan manipulasi. Dekonstruksi dapat disalahgunakan oleh aktor politik untuk melemahkan atau merusak struktur yang ada tanpa menawarkan alternatif konstruktif. Hal itu berujung pada sikap sinis terhadap institusi politik atau mendorong anarkisme, seperti yang saya alami. Tetapi yang pasti keburukan timbul, yakni menurunnya kepercayaan publik. Sikap terlalu fokus pada dekonstruksi juga membawa dampak, berkurangnya kepercayaan publik terhadap institusi politik dan sosial, karena semua bentuk otoritas dan norma dipertanyakan, dipersepsikan sebagai bentuk penindasan atau manipulasi.
Enrekang, 19 Agustus 2024
Zulkarnain Hamson
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H