Mohon tunggu...
Zulkarnain Hamson
Zulkarnain Hamson Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Ilmu Komunikasi

Saya adalah dosen dengan latar belakang jurnalis selama 27 tahun

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Portal Berita

17 Agustus 2024   22:42 Diperbarui: 17 Agustus 2024   22:47 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

EKSISTENSI portal berita sebagai media komersial online, diprediksi hanya akan bertahan 5-10 tahun kedepan. Hal itu dikemukakan Emily Bell, Direktur "Tow Center for Digital Journalism", lewat sejumlah kajian, tentang bagaimana media berita (portal) bisa beradaptasi dalam menghadapi tantangan  teknologi digital dan media sosial. Peneliti media lain Jeff Jarvis, penulis buku "What Would Google Do?" juga memberikan pandangan kritisnya tentang nasib jurnalisme dan media di era digital.

- - - - - - - - - - - - -

Menjelang tengah malam, saya masih menelisik artikel media dan jurnalistik, ditulis seorang dosen di Yogyakarta, bertutur tentang portal berita dan akurasi, ponsel saya berdering seorang pemimpin redaksi portal berita menelpon. Dalam benak saya jika telepon malam hari, pasti ada yang penting. Benar adanya, kawan jurnalis itu sedang gelisah memikirkan sertifikasi bagi awak redaksinya. Usia 40 memang energik, saya membiarkan kawan itu bicara, panjang lebar, kegelisahan, penderitaan, dan harapannya pada media online yang baru berusia dua tahun dibangunnya. Saya mulai menangkap nada putus asa, apakah ia akan terus bertahan di bisnis portal yang nasibnya tak menentu, atau jualan mie goreng di teras rumah.

Perkiraan tentang 5-10 tahun yang saya sebutkan sebelumnya bukanlah kutipan langsung dari kedua pakar di atas, melainkan analisis berdasarkan tren yang ada dalam industri media dan teknologi, dan terutama 27 tahun waktu pernah saya gunakan 'bermain' dalam ruang redaksi surat kabar dan tabloid. Ini adalah prediksi yang didasarkan pada berbagai faktor, adaptasi teknologi, perubahan preferensi audiens, dan potensi regulasi dan baik langsung maupun tidak, memengaruhi persaingan antara portal berita dan media sosial. Sejumlah riset telah dilakukan jauh di belahan bumi lainnya, Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Belanda dan di Asia ada China bersama India, yang sangat konsen mengamati perubahan pola media dan konsumen di era digital.

Di Brasil dan Argentina, juga beberapa negara di Afrika, didapati adanya kesamaan pola tumbuh media online baik portal berita maupun media sosial. Bahkan perilaku konsumen informasi, hal itu tentu ditunjang iklim ekonomi dan politik. Kembali keprediksi eksistensi media mainstream (portal) di era media sosial, sejumlah data rujukan memberi gambaran bahwa media tradisional tetap memiliki peran penting, namun dengan beberapa perubahan signifikan, diantaranya konsolidasi dan adaptasi; media mainstream akan cenderung berkonsolidasi untuk mengurangi beban biaya dan meningkatkan efisiensi. Manajemen juga akan terus beradaptasi dengan teknologi baru, seperti mengintegrasikan platform media sosial untuk distribusi konten dan menggunakan analitik data untuk memahami audiens (analisa dan inovasi).

Bacaan ini saya kemas untuk umum, tetapi lebih khusus pada mahasiswa saya di kelas mata kuliah "Produksi Media Digital" sebagai bahan diskusi mari cermati "Hybridisasi Konten" ditemukan fakta bahwa media mainstream akan mengadopsi gaya konten yang lebih interaktif dan personal seperti yang populer di media sosial. Artinya manajemen redaksi portal berita mungkin akan atau harus menggabungkan jurnalisme tradisional dengan format yang lebih ringan dan mudah dibagikan, seperti video pendek atau artikel yang lebih singkat. Kata Profesor Hafied Cangara benarkah generasi sekarang masih mau membaca naskah panjang?. Bukankah mereka lebih cenderung pada konten digital?. Segmentasi pasar (pembaca) atau juga konsumen sudah terpola.

Dewasa ini bukan hanya portal berita melainkan juga akun media sosial, berhadapan dengan resiko kredibilitas dan kepercayaan. Dalam lanskap media dimana berita palsu dan misinformasi mudah menyebar dimedia sosial, media mainstream dapat mempertahankan relevansinya dengan menjadi sumber informasi yang terpercaya. Pengguna mungkin akan kembali ke media mainstream untuk verifikasi berita atau informasi lebih mendalam. Teknik kolaborasi dengan Influencer, bisa jadi solusi bagi media mainstream, bekerja sama dengan influencer di media sosial untuk bisa menjangkau audiens yang lebih muda. Praktik ini bisa menjadi cara untuk cepat memperluas jangkauan konsumen dan portal berita tetap relevan di kalangan generasi digital yang lebih senang pada audio visual.

Tulisan ini segera akan saya akhiri, pemirsa media sosial kurang suka tulisan panjang, sebaliknya saya tidak terampil dalam mengemas konten audio visual, tetapi saya ingin menitip pesan kepada semua kawan jurnalis, terutama adindaku yang menelpon semalam, sertifikasi bagi jurnalis penting, tetapi jauh lebih penting menumbuhkan wawasan dan budaya literasi agar jurnalis bisa cerdas dan tetap hidup normal dalam profesinya. Kalau sudah tak mampu menghadapi iklim media saat ini, masih banyak bidang profesi lain yang menunggu. Lebih penting punya wawasan dari pada sertifikat. Sertifikat hanya bukti kita pernah ikut ujian, tetapi bukan bukti bahwa kita punya daya pikir, juga daya kritis. Karena konon saat ini jurnalis sudah kehilangan daya kritis, tak lebih sekadar penulis brosur (berpihak), tetapi itu masih harus dibuktikan dalam penelitian tentunya.

Bone, 13 Agustus 2024
Zulkarnain Hamson
Dewan Pembina IWO Sulawesi Selatan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun