FILSUF legalis seperti Han Fei Zi dalam uraiannya tentang 'Legalisme Otokratik' memberi tekanan pada arti pentingnya hukum ketat dan aturan yang tidak fleksibel untuk mengendalikan rakyat dan memperkuat otoritas penguasa (kekuasaan). Para akademisi menemukan sejarah awal legalisme otokratik dalam tradisi Legalisme Tiongkok. faham ini berkembang selama periode negara-negara berperang 475--221 Sebelum Masehi (SM) didaerah Tiongkok kuno.
- - - - - - - - - - - -
Kekaisaran Romawi, juga menganut Legalisme Otokratik, di bawah pemerintahan para Kaisar, hukum sering digunakan sebagai alat efektif untuk menjaga, mempertahankan pamor kekuasaan dan mengendalikan wilayah yang luas. Seperti Nero dan Caligula diketahui menggunakan hukum secara sewenang-wenang dalam menindas lawan politik dan menjaga kontrol atas populasi. Roma tidak sendiri, Kekaisaran Bizantium termasuk dantaranya, praktik hukum juga digunakan sebagai instrumen kekuasaan. Kaisar-kaisar Bizantium sangat sering menerapkan hukum ketat demi menjaga stabilitas kekaisaran dan menekan oposisi (lawan politik) terutama dalam masa-masa krisis atau perang.
Monarki absolut di Eropa selama abad ke-16 hingga 18, menjalankan praktik legalisme otokratik, banyak negara ketika itu diperintah raja dengan kekuasaan absolut, seperti Prancis di bawah Louis XIV. Hukum dalam monarki absolut digunakan memperkuat kekuasaan dan mengekang kebebasan rakyat. Hukum dan sistem peradilan sering kali dipolitisasi untuk melayani kepentingan penguasa. Rezim otoriter modern abad ke-20 dan ke-21, juga ikut mengadopsi legalisme otokratik. Muncul dalam berbagai rezim otoriter dan totaliter. Uni Soviet di bawah Stalin, Jerman Nazi di bawah Hitler, dan Korea Utara di bawah Kim Jong-un. Dalam setiap kasus, hukum digunakan untuk memperkuat daya kekuasaan negara, menekan oposisi, dan tentunya mengendalikan masyarakat melalui tindakan represif.
Pekan lalu Tempo menurunkan liputan eksklusif bertajuk Legalisme Otokratik, tentu bagi peminat ilmu hukum tanpa penjelasan semua dipahami, namun di kelas mata kuliah saya, istilah itu baru, terutama saat pembahasan materi Ideologi dan Demokrasi. Sederhananya disebut sebagai bentuk "Penguatan Kekuasaan" para penguasa otoriter sering menggunakan hukum sebagai alat untuk memperkuat dan mempertahankan kekuasaan mereka. Dengan menegakkan hukum secara kaku dan tidak fleksibel, mereka dapat membungkam oposisi, mengendalikan populasi, dan memastikan bahwa tidak ada yang berani menantang otoritas mereka. Hukum yang keras juga dapat digunakan untuk mematahkan lawan politik atau siapa pun yang dianggap sebagai ancaman.
Dalam era semisal itu, "Kontrol Sosial" berjalan tak lazim, memungkinkan penguasa bisa mengontrol masyarakat dengan cara yang lebih efektif. Dengan menetapkan aturan ketat dan sanksi yang berat, penguasa dapat menciptakan suasana ketakutan, mencegah terjadinya pemberontakan perlawanan (ketidakpatuhan). Hukum represif dapat memaksa rakyat untuk patuh, bahkan jika mereka tidak setuju dengan kebijakan atau tindakan pemerintah. Semua itu berakibat hilangnya "Mekanisme Pengawasan". Lazimnya dalam sistem otoriter, sering kali tidak ada mekanisme pengawasan efektif, seperti media bebas, sistem peradilan independen, atau lembaga masyarakat sipil yang kuat, untuk menantang atau menahan hasrat kekuasaan.
Tanpa kontrol dan keseimbangan itulah penguasa bebas untuk menggunakan hukum sesuka mereka, tanpa mempertimbangkan keadilan atau Hak Asasi Manusia (HAM). Pastinya, Legalisme Otokratik dipicu juga oleh "Kepentingan Ekonomi" didorong oleh kepentingan penguasaan ekonomi kelompok. Penguasa mungkin menggunakan hukum untuk melindungi kepentingan ekonomi tertentu, seperti monopoli perdagangan, sumber daya alam, atau kepentingan elit, atau untuk menekan kelompok sosial tertentu yang dianggap sebagai ancaman terhadap status quo mereka. Dalam pemerintahan yang seperti itu, hanya ada satu kata pasti; korupsi. Elemen-elemen kekuasaan dalam sistem Legalisme Otokratik 99% berperilaku korup.
Kita mungkin tak sepenuhnya sadar, bahwa gerbang Legalisme Otokratik sedang kita masuki, berbagai keluhan masyarakat pada tidak tegaknya maruah hukum, pelanggaran yang vulgar oleh aparat, abainya pelayan publik pada keluhan masyarakat, dan sikap sewenang-wenang aparat, menjadi gambaran nyata. Media yang tak berani bersuara, juga merebaknya pendukung semu di media sosial, semakin memperkeruh dan menjauhkan warga negara dari pencapaian tujuan negara.Â
Bone, 12 Agustus 2024
Zulkarnain Hamson
Dosen Filsafat Ilmu Pemerintahan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H