Mohon tunggu...
Zulkarnain Hamson
Zulkarnain Hamson Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Ilmu Komunikasi

Saya adalah dosen dengan latar belakang jurnalis selama 27 tahun

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mimpi di 78 Tahun Kemerdekaan

17 Agustus 2024   09:16 Diperbarui: 17 Agustus 2024   09:16 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto dokumentasi pribadi

PENINGKATAN kualitas pendidikan Indonesia, menjadi tujuan buku ini dibuat, ada 17 penulisnya, semua pakar, 16 saya kenal baik, namun mereka tak mengenal saya, 1 saya kenal baik, dan beliau juga mengenal saya. Profil Guru Besar (GB), Profesor Satya Arinanto sahabat baik Sukriansyah Sultan Latief keduanya masih sebagai Staf Wakil Presiden RI saat ini. Profesor Satya, GB Fakultas Hukum, Universitas Indonesia (UI), pernah saya undang sebagai nara sumber ke kampus UIT, saat saya masih menjabat Wakil Rektor IV.

- - - - - - - - - - -

Dua hari lalu, saat berada di kampus UIT, seorang pegawai menghampiri saya dan menyebutkan ada dua dos berisi kurang lebih 40 buku, tersisa di lemari bekas ruangan kerja saya sebagai WR IV, lupa saya bawa pulang. Saya tersenyum, bukan hanya buku bahkan komputer juga tak saya bawa, diantara buku-buku itu, terdapat 4 buku dengan judul sama, "Mencerdaskan Kehidupan Bangsa." Buku ini diterbitkan Lembaga Pengkajian Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI). Penyusunan buku ini, diketuai Syamsul Bahri, Wakilnya Jacob Tobing dan Andi Mattalatta. Sekretaris  M Alfan Alfian dan I Wayan Sudirta.

Selain nama Profesor Satya, ada nama Valina Singka Subekti, dan Zain Badjeber. Seperti kata saya di atas nama-nama itu sangat familiar dan dikenal luas publik nasional. Terutama Ibu Valina, selama ini pemikiran beliau tentang kepemiluan kerap saya jadikan acuan karena lugas dan sarat bobot. Mengapa mereka ada dalam barisan penyusun buku ini, tentu tak bisa saya jawab dengan tepat, tetapi saya paham kualitas terbaik yang ada pada 17 nama di buku ini, menjadi alasan MPR-RI menunjuk mereka sebagai penulisnya. Berisi 5 BAB dengan 157 halaman, mendeskripsi dunia pendidikan tanah air, sejak pra kemerdekaan hingga saat ini. Saya berharap buku ini ada di lemari perpustakaan semua sekolah dan kampus di Indonesia.

Pada BAB IV diuraikan upaya-upaya yang harus dilakukan untuk pendidikan nasional, berisi 8 poin dimulai dengan ulasan berbagai Undang-Undang (UU); pembiayaan pendidikan; penataan lembaga pendidikan guru dan dosen; pemenuhan akses pendidikan; penataan riset dan kelembagaan pendidikan tinggi; juga peningkatan mutu tenaga kependidikan termasuk pendidikan dalamnya Islam (Tarbiyah); rekrutmen dan pemerataan ketersediaan guru/dosen; terakhir penerapan kurikulum dasar pendidikan yang komprehensif. Buku ini sebagai pemandu keselarasan bagi kementerian dan lembaga terkait dalam rancang bangun sistem pendidikan nasional kita. Membaca BAB penting itu saya berfikir kurang apa lagi garis batas yang telah dipikirkan para pakar kita?.

Silang singkarut dunia pendidikan tanah air, tak semata disumbang kurikulum, lebih banyak karena faktor karakteristik masyarakat kita yang sangat beragam, mungkin bukan kepincangan regulasi, karena keragaman budaya masyarakat, atau sekadar tak meratanya infrastruktur karena letak geografis, pendidikan Indonesia punya latar sejarah yang terbilang unik. Saya mengikuti pemikiran para pakar melalui 'kacamata' mereka, juga latar belakang keilmuannya. Simpulannya tetap sama, garis pemandu telah ditorehkan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan mitranya harus bekerja dalam patron yang telah disepakati dan dikritisi para pakar resiko besar jika menyimpang. Menteri pendidikan boleh berganti, namun visi misi jangan kembang kempis, terkecuali alasan mengikuti zaman dan teknologi.

Enam hari kedepan bangsa ini akan genap berusia 79 tahun, jangan katakan nanti 100 tahun baru kita akan matang dan menemukan pola pendidikan tepat bagi generasi bangsa. 20-30 tahun sebelum proklamasi berdirinya Indonesia Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) sudah meletakkan fondasi bangun pendidikan negeri ini, menjajari Belanda yang meminta misionaris Katolik ikut terlibat dalam urusan mengisi otak manusia Nusantara, hari ini kita masih melihat sejumlah tokoh nasional berkiprah mereka lahir dari institusi pendidikan Islam dan Kristen, sampai sekolah dan perguruan tinggi milik pemerintah lahir dan mulai mewarnai. Kalau kita tak menemukan kualitas manusia semakin membaik, itu bukan semata karena pendidikan formal gagal, karena ada bukti para pakar sudah menuangkan gagasan mereka.

Mari lihat data statistik, dari sekira 4004 Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta (PTN/S) data tahun 2022, 184 merupakan PTN, selebihnya 3820 adalah PTS. PT yang berbentuk universitas berjumlah 2595. Sisanya, akademi, Sekolah Tinggi dll. Selanjutnya, Sekolah Menengah Atas (SMA) terdapat sebanyak 14.236 unit, Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) sebanyak 14.265 unit hingga Madrasah Aliyah (MA) berjumlah sebanyak 9.827 unit dengan 91,75% di antaranya swasta. Terakhir Sekolah Dasar (SD) di Indonesia sebanyak 148.975 unit. Kemudian, Madrasah Ibtidaiyah (MI) 26.503 unit, dengan 93,54% di antaranya swasta. Indonesia memang unik, coba bayangkan Negara China dengan jumlah penduduk miliar, hanya punya 2500 PTN/S. Tetapi jangan lupa indeks korupsi kita terbilang nomor 1 di Asia.

Watampone, 11 Agustus 2024
Zulkarnain Hamson
Dosen Pendidikan Anti Korupsi

Foto: dokumentasi pribadi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun