Mohon tunggu...
Zulkarnain Hamson
Zulkarnain Hamson Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Ilmu Komunikasi

Saya adalah dosen dengan latar belakang jurnalis selama 27 tahun

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kritik

31 Juli 2024   21:09 Diperbarui: 31 Juli 2024   21:45 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

KEVIN Darnell Hart, aktor, komedian, penulis, dan produser Amerika Serikat. Hart memulai kariernya dengan memenangkan beberapa kompetisi komedi amatir di klub-klub di seluruh New England, dan berpuncak di tahun 2000, ketika tampil di komedi situasi "Judd Apatow, Undeclared". Saya meminjam kata-kata Hart yang terkenal, "Kritik itu seperti obat, jika diambil dengan benar, bisa membuatmu lebih baik. Jika salah obat itu bisa membunuhmu."

- - - - - - - - - - - - - -

Kritik adalah suatu proses analisis dan evaluasi terhadap sesuatu, bisa person juga keadaan, tentu dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman, memperluas apresiasi, atau membantu alternatif solusi, memperbaiki sesuatu yang mungkin kurang tepat. Kritik berasal dari bahasa Yunani 'kritikos' yang berarti "dapat didiskusikan". Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kritik merupakan kecaman atau tanggapan atau kepuasan yang kadang-kadang juga disertai dengan uraian serta pertimbangan baik dan buruk suatu hasil karya, pendapat dan lain sebagainya. Tetapi kata guru saya semasa kuliah, "Tak ada kritik yang nyaman bagi penerimanya." Jaman Orde Baru, kritik bisa berarti siap diperiksa aparat.

Kritik bisa menimbulkan kemarahan, saya teringat seniman berbakat senior semasa kuliah, almarhum Bang Asdar Muis, di sisa akhir hidupnya pernah menjaga naskah milik pak Profesor Syahrul Yasin Limpo (SYL) dan diterbitkan dengan judul: "Jangan marah di Muara." Saat buku itu diluncurkan, saya mengira pak SYL, kala itu menjabat Wakil Gubernur Sulawesi Selatan, akan berkisah tentang kemarahan rupanya salah beliau bertutur tentang sikapnya sebagai birokrat (pelayan publik). Dinukil dari pidato SYL sebagai respon situasi bernegara kita pasca reformasi. Kata-kata SYL, dikutip Profesor Hamka Haq, politisi PDIP katanya; "Rakyat seharusnya jangan marah di muara, karena kondisi bernegara kekinian ibarat banjir dari hulu yang melimpah ke muara. Semuanya dampak dari reformasi yang kebablasan.

Saya pernah mengeritik Prof SYL, dalam satu acara dialog terbuka menjelang Pilkada 2004, saat itu Andi Mangara, Mangara Jazz pengatur diskusi di warkop Phunam Panakkukang, mengundang juga wartawan untuk hadir, sekalipun telat saya masih dapat kursi depan meja Prof. SYL, maka saat Andi Mangara meminta penanggap dari floor, karena saat itu dialog live radio, nama saya disebutnya, disusul mike disodorkan, ditodong seperti itu, saya terpaksa bicara. Kalimat saya simpel saja "Jika Pilkada Sulsel, gagal maka pak SYL paling patut dimintai pertanggungjawaban," ujarku. Bola mata beliau membesar, tetapi reputasinya sebagai organisatoris sejak mahasiswa dan kenyang forum, usai dialog, Dr. SYL, menghampiri dan menjabat tangan saya dengan erat, "kita harus lanjutkan terus berdiskusi dinda," ujarnya.

Kritik bagi pribadi berjiwa besar memang menjadi alternatif pilihan obat tepat, pak SYL paham benar arti kritik, sehingga tak jarang sekalipun sakit di telinga dan hati, membuat gigi gemerutuk, tetapi senyum selalu berkembang di bibirnya. Mari kita lihat mengapa Presiden Suharto 'tumbang'? karena saat itu, orang-orang di sekeliling 'mengharamkan' kritik. Seperti racun yang pahit kritik di telinga para pembantu Presiden Suharto, era itu memunculkan perilaku Asal Bapak Senang (ABS), semua dibuat seakan-akan 'manis' dan sangat pahit saat Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar, Harmoko, yang dibesarkan pak Harto dengan manja itu akhirnya berkata jujur (pahit), "Bapak diminta mundur dari kursi presiden" kata Harmoko, di ruang tamu jalan Cendana Jakarta, kediaman jenderal paling disegani di Asia, ketika itu.

Kritik dan kekuasaan ibarat dua sisi dari satu mata uang yang sama. Filsuf Aristoteles mengungkap bahwa fase eksistensial manusia bermula dari kesenangan (pleasure) salah satunya 'sanjungan'. Dalam tahap ini, individu akan menemukan makna hidup dengan bersenang-senang. Setelah itu, mereka akan berusaha memperoleh kehormatan, misalnya melalui kekuasaan dan jilatan sanjungan. Bagi penulis Nicomachean Ethics, jabatan itu bukan merupakan puncak dari kehidupan. Ada fase akhir mesti diraih, yakni 'kontemplasi' atau perenungan, inilah yang mengantarkan manusia pada akhir pencarian tentang eksistensi. Kata kawan diskusi saya Bahrun Andi Ayung Iskandar "penguasa sibuk kadang tak punya waktu kontemplasi" maka telinganya dijejali kalimat manis. Wallahu A'lam.

Ahmad Yani, Bone, 30 Juli 2024
Zulkarnain Hamson

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun