“Jati diri bangsa harus dibela”. Tetapi benarkah bagsa kita punya jati diri bangsa ?. Sejak dideklarasikan kemerdekaan bangsa Indonesia dari tangan tangan penjajah 1945, kebebasan anak anak bangsa Indonesia untuk menikmati gurihnya kemerdekaan, hanya mimpi disiang bolong. Atau sekedar lintasan hayal bagaimana rasanya mencicipi nikmatnya kemerdekaan dinegeri sendiri. Buaian itu merangsang anak bangsa ini terlena dalam “indahnya Kemerdekaan”. Menggambarkan Indahnya kemerdekaaan itu seperti tuian hidangan dari langit yang penuh nikmat , lezat , gurih dan nyaman bila dikunyah dan digoyang dengan lidah. Terasa sejuk dan menyenangkan, bila ditatap dengan mata, terasa cantik dan tampan bila dikenakan sebagai busana. Tetapi itu Impian anak bangsa yang sedang tertidur pulas karena keletihan mengharap belas kaih, uluran tangan dan kucuran dana untuk menyelamatkan anak cucunya. Sebab lapar dan kemiskinan yang merantai kehidupan kaum miskin sewaktu waktu dapat menjadi bencana besar bagi mereka, merontokkan sendi sendi kehidupan mereka.
[caption id="attachment_240957" align="aligncenter" width="402" caption="Demo Anti Malaysia Sama Dengan Bunuh Diri"][/caption]
Bayangkan saja, anak anak bangsa harus berenang dalam samudra kehidupan yang tidak menentu, besar jumlahnya anak bangsa yang terseret arus kemiskinan hingga harus terluka mendalam dalam jeratan hutang uang renten , banyaknya petani yang harus menggadaikan tanahnya, karena gagal panen. Nelayan yang harus mengais harap demi harap di gubuk gubuk ditepi pantai. Tanahnya yang mati, tidak subur terpaksa digadaikan dengan suka suka tanpa berpikir masa depanya. Didesa desa terutama, para petani harus menelan ludah, karena juragan tanah yang memeras petani didesa dengan berbagai cara, demikian nasib nelayan, hidupnya sama tersiksa merasakan permainan di tepi pantai. Nasib buruh diberbagai perusahan dibayar tidak sepantasnya. Nasib buruh /kuli pasar/kuli bangunan tidak menjanjikan masa depan, hanya karena terpaksa mereka harus makan, berapapun besarnya upah yang akan diterimanya. Pengangguran yang terus meningkat, menjadi kian merebaknya berbagai tindak kejahatan dalam segala modus tindakan. Kaum wanita memilih menggelar hidup di barak barak maksiat, tampaknya menjadi pilihan paling gampang untuk menghasilkan uang. Karena memang anak anak bangsa ini sudah tidak punya pandangan, oleh sebab limpah karunia kemerdekaan yang menjadi milik segelintir orang, yaitu penguasa dan para punggawa pemerintahan, para pengusaha yang berlindung dibalik kekuasaan, para konglomerat yang kian menindas rakyat makin sekarat. Lalu sisanya yang sebagian besar siapa? bangsa yang pas pasan hidupnya ? yang bertebaran tak tentu rimbanya.
Ada jutaan anak bangsa yang harus menghindar dari jeratan jeratan kekuasaan Negara. Mereka terseber di lima benua, menggantungkan hidup, mengais makan disana.Pulangnyapun masih diperlakukan seperti tahanan. Hanya predikatnya dibesar besarkan . “Pahlawan Devisa Negara”, artinya pemerintah tidak pernah malu makan uangnya rakyat yang kerja sekarat. Pungutan pajak terjadi dimana mana, mulai dari yabg liar hingga yang legal, agar bias menikmati Negara yang konon telah merdeka.
Lalu salahkah Malaysia ?......Penulis pernah lama di Malaysia. Ternyata kehidupan di Malaysia memang harus menjadi surganya para pendatang. Berbeda tentunya dengan anak anak Malaysia yang datang ke Indonesia, kalau tidak belajar , mungkin pekerja ahli. Sedangkan di Malaysia, jangankan negeri jiran yang tidak mau datang memburu harta di Malaysia, orang orang belahan bumi india, Afghanistan, Pakistan, mereka berbondong bonding berlomba dengan waktu, mengejar jam jam kerja di Malysia. Bandingkan dengan Negara kita, bisa apa sih Indoensia terhadap bangsanya sendiri, kalau tidak membelit mereka dengan pajak, mereka harus terasing keluar negeri, Itulah Indoensia yang kaya raya, beribu ribu pulau didalamnya. Lautannya luas membentang, gemah ripah loh jinawi . Itu tong kosong nyaring bunyinya, jauh panggang dari api.
Indoensia hanya mampu menjadikan bangsanya sebagai budak budak kerja di luar negri, “Bangsa yang menjual bangsanya sendiri”, dengan menggadaikan mereka sebagai tenaga kerja . Masih bisakah yang konon negera semakmur Indoensia mempertahankan harga diri dari rongrongan negara lain. Sejauh mana antisipasi pemerintah terhadap pengangguran yang belongsotan keluar negeri demi anak istri. Istilah pemerintah” memfasilitasi” sebagai TKI” itu saja, meskipun prosedurnya jelimat bahkan sarat nuansa manipulasi. Lalu bisa apa bangsa kita, Indonesia terhadap Malaysia ? protes atas kesalahan kesalahan Malaysia terhadap Bangsa ini. Bayangkan dengan pendatang Illegal Indonesia di Malaysia yang sebagian besar menjadi warga Malaysia, itu sudah terlalu bijak Malaysia memperlakukan TKI illegal, kendati kemudia terjadi penangkapan dan didiportasi ke Indonesia, itu hanya sebagia kecil dari anak anak bangsa ini yang akhirnya bisa mendapat permit Tinggal dan di Izinkan tinggal di Malaysia menggunakan IC (indentiti card = kartu penduduk )Malaysia. Pelanggaran bangsa kita di Malaysia masih diampuni oleh Malaysia, lalu mengapa para pendemo itu tidak membaca kenyataan yang terjadi didalam negeri jiran Malaysia, tentang selaksa kisah hidup mereka di Kampung Pandan, Datuk Kramat, Ampang, petaling jaya, Selangor, johor baharu, Kelantan, negri Sembilan, kedah, kuching, serawak dan lainnya, berapa juta bangsa kita yang legal dan illegal bebas bekerja disana, lalu membawa pulang hasil kerjanya selama di Malaysia ke Indonesia. Malaysia yang sempit, masih mampu menampung arus pendatang dari negeri kita, memberi makan kepada bangsa kita. Tetapi Indonesia yang luas tidak bisa berbuata apa apa terhadap bangsanya. Hujan emas dinegri orang, hujan batu dinegri sendiri, mendingan saya kabur kenegri orang aja…hahahahahah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H