Adanya vaksin yang mulai disuntikkan kepada masyarakat di seluruh dunia dianggap sebagai sebuah titik terang dari pandemi COVID-19. Tapi dibalik itu, ternyata pandemi ini juga masih menyisakan masalah lain, kesehatan mental. Tidak ada 'vaksin' untuk kesehatan mental sehingga untuk keluar dari masalah ini perlu waktu cukup lama- ujar Lisa Carlson, mantan presiden Asosiasi Kesehatan Masyarakat Amerika (APHA). Infeksi sudah menghilang, tetapi masih sakit. Efek jangka panjang dari Covid-19 tidak hanya pada masalah fisik saja, tetapi juga kesehatan mental. Tidak hanya rasa takut, efek psikologis yang ditimbulkan pun bisa berdampak serius.
Sejak wabah pandemi COVID-19 melanda, banyak aspek-aspek kehidupan kita sehari-hari berubah. Mulai dari pendidikan, ekonomi, Kesehatan, dan sektor-sektor lainnya. Maka wajar bagi kita untuk merasa cemas. Menjalani kehidupan ditengah berbagai tantangan, seperti pembelajaran jarak jauh yang berkepanjangan dan kurangnya kontak fisik dengan teman dan keluarga, menjaga kesehatan mental dan kesehatan fisik sangatlah penting.Â
Kesehatan fisik dan mental merupakan sebuah satu kesatuan yang saling menunjang satu sama lain. Sehingga keduanya harus berjalan selaras dan beriringan. Maka dari itu diperlukan sebuah kesadaran untuk memahami dan mengerti bahwa menjaga kesehatan mental sama pentingnya dengan menjaga kesehatan fisik, terlebih pada masa pandemi seperti sekarang ini.
Adanya kebijakan-kebijakan baru pemerintah yang dilakukan dalam rangka pencegah penyebaran dan penularan COVID-19, seperti misalnya social distancing, karantina atau isolasi diri, Â beraktivitas di rumah, panic buying, hingga perubahan penanganan di fasilitas kesehatan. Semua itu terjadi secara tak terduga dan begitu cepat, dalam kurun waktu yang tidak dapat diprediksi, disertai pemberitaan secara terus menerus dan berulang-ulang mempengaruhi kesehatan mental.Â
Terkait semua perubahan yang terjadi tersebut, sebuah survei mengenai distres psikologis terkait COVID-19, yang mana dilakukan di Tiongkok, Hong Kong, Macau, dan Taiwan, yang juga melibatkan 52.730 responden, menunjukkan adanya peningkatan gangguan ansietas, panik, dan depresi. Berdasarkan hasil survei, beberapa faktor yang ikut serta meningkatkan distress psikologis antara lain; jenis kelamin wanita, Â dapat mengalami PTSD (post traumatic stress disorder), usia 18-30 tahun (usia produktif) atau diatas 60 tahun (usia lansia), tingkat pendidikan yang lebih tinggi (mempunyai self-awareness terhadap kesehatan yang lebih tinggi), begitupun dengan para pekerja yang bermigrasi (khawatir risiko penularan selama perjalanan).
Bahkan lebih buruknya dampak pada kesehatan mental ini tak pandang bulu, ia tidak hanya hadir menghampiri orang-orang dewasa dan lansia saja. Seperti dilansir pada laman mereka, UNICEF memperingatkan bahwa anak-anak dan remaja berpotensi mengalami dampak jangka panjang dari COVID-19 terhadap kesehatan mental mereka. Berdasarkan salah  satu laporan UNICEF paling komprehensif soal kesehatan mental anak-anak, remaja, dan pengasuh mereka di abad 21, berjudul; The State of the World's Children 2021; On My Mind: promoting, protecting and caring for children's mental health -- sebelum adanya pandemi COVID-19 pun anak-anak dan remaja sudah menanggung beban kesehatan mental tanpa ada usaha yang bermakna untuk mengatasi masalah ini. Data terbaru memperkirakan terdapat lebih dari 1 dari 7 remaja berusia 10-19 tahun di dunia hidup dengan diagnosis gangguan mental. Laporan tersebut menemukan bahwa secara umum, anggaran kesehatan yang dialokasikan untuk kesehatan mental hanya mencapai 2 persen. "Belum banyak yang mengaitkan pentingnya kesehatan mental yang baik dengan kualitas masa depan seseorang."- ujar Direktur Eksekutif UNICEF Henrietta Fore.
Itu kondisi sebelum adanya pandemi. Lalu bagaimana dengan sekarang? Bagaimanakah kondisi kesehatan mental anak-anak selama pandemi melanda? masih dikutip dari laman UNICEF Indonesia, berdasarkan survei internasional yang dilakukan pada anak-anak dan orang dewasa di 21 negara yang dilaksanakan UNICEF dan Gallup -- menemukan bahwa terdapat median1 dari 5 anak muda usia 15-24 tahun dalam survei menyatakan bahwa mereka sering merasakan depresi dan juga enggan berkegiatan.Â
Sedangkan beberapa temuan data tentang anak muda di Indonesia yang tercakup dalam laporan State of the World Children diantaranya; terdapat hampir satu dari tiga anak muda di Indonesia (29 persen) dilaporkan sering merasa tertekan atau memiliki sedikit minat dalam melakukan sesuatu. Dampak pandemi terhadap kesehatan dan kesejahteraan mental anak-anak dan orang muda tidak kunjung membaik bahkan terus memburuk hingga memasuki tahun ketiga pandemi COVID-19 ini. Menurut data terbaru UNICEF, secara umum, 1,6 miliar anak terdampak oleh terhentinya proses belajar mengajar, sementara setidaknya 1 dari 7 anak mengalami dampak langsung karantina.
Menurut laporan terbaru WHO, dampak pandemi COVID-19 pada kesehatan mental akan terasa untuk waktu yang lama. Isu kesehatan mental ini dinilai harus bisa dilihat sebagai hal yang penting sehingga perlu segera ditangani sama seperti pemulihan sosial dan ekonomi. WHO juga mendesak pihak berwenang untuk segera mengatasi akar penyebab gangguan kesehatan mental, seperti kemiskinan atau ketidaksetaraan sosial ekonomi, dsb.Â
Sejumlah faktor yang menyebabkan gangguan kesehatan mental yang terjadi selama pandemi antara lain, rasa takut terhadap wabah, resa terasing saat isolasi diri, kesepian dan kesedihan karena jauh dari keluarga atau orang terkasih, cemas akan kebutuhan hidup sehari-hari, serta kebingungan akibat informasi yang tumpang tindih. Beberapa kelompok yang rentan mengalami stres psikologis selama pandemi virus COVID-19 adalah anak-anak, lansia, dan petugas medis.