Sesungguhnya tulisan ini saya buat sebagai renungan dan menginginkan perbaikan untuk masyarakat Minang, bukan sebagai bahan untuk menyudutkan entitas Minang. berangkat dari sejarah  masyarakat Minang yang dahulunya dikenal dengan tempat lahirnya para pemikir-pemikir ulung. Sebut saja M.Yamin yang gagasanya menjadi pemantik bagi anggota sembilan untuk melahirkan Piagam Jakarta yang kemudian menjadi cikal bakal lahirnya Pancasila pada Juni 1945.
Ada M.Hatta, Wakil Presiden pertama yang dikenal sebagai bapak ekonomi Indonesia. Adalagi Datuk Ibrahim Tan Malaka, yang pemikiran progresifnya menjadi pelecut bagi kaum revolusioner Indonesia (bahkan pemikiranya masih hidup dan menjadi bagian kerangka kritis dari sebagaian kaum pergerakan hari ini).
Atau adalagi, Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih populer dipanggil Buya Hamka, seorang ulama yang menjadi panutan bagi tokoh-tokoh pendiri bangsa diakhir hidup mereka. Masih ada lagi, Agus Salim yang terkenal dengan keterampilan berdiplomasi dan teknik lobby yang tinggi, dan tentu masih banyak lagi tokoh-tokoh lainya yang tak tersebutkan satu persatu.
Ada ungkapan bagi masyarakat Minang yang masih sering disebutkan sampai hari ini yaitu; "Urang Minang tu, Taimpik nak Di ateh, Takuruang nak di lua". Bila diartikan sepintas, maka sebagian besar orang menyimpulkan arti dari ungkapan tersebut  dalam Konotasi negatif yaitu "Cadiak Buruak/Caliah" (Licik). Namun, bila diurut secara terminologi, kata tersebut mengisaratkan  masyarakat minang harus berfikir Progresif dan Solutif, penuh makna yang perlu diartikan secara mendalam.
Bagaimana mungkin terkurung di luar sedangkan orang tau makna terkurung itu di letakan pada kondisi terkuncinya seseorang dari dalam, dan bagaimana mungkin terhimpit di atas, sedangkan makna terhimpit adalah dibawah beban. Â Ada ungkapan lainnya, seperti belajar dari tanda-tanda "Cewang di langik tando kapaneh, gabak di hulu tando kahujan", lalu ada lagi ungkapan "tau ereang Jo gendeang, Alun takilek lah takalam".
Semua ungkapan-ungkapan tersebut bila ditelusuri memiliki makna yang mengajarkan bagaimana masyarakat Minang hidup dalam keharusan berfikir sebelum bertindak, berfikir sebelum berbicara dan berfikir secara cepat.
Di Minang sedari kecil sudah diajarkan kato nan ampek, kato nan ampek dimaknai sebagai pengklasifikasian cara berbicara orang Minang yaitu, bagaimana cara berbicara dengan orang lebih tua, cara berbicara dengan orang lebih kecil, cara berbicara dengan orang seumuran dan cara berbicara dengan orang yang disegani.
Namun, budaya tersebut bak seperti Hilang entah kemana. (Mungkin budaya yang masih tersisa dari masyarakat minang hanyalah berdagang dan merantau)
Fenomena masyarakat Minang hari ini, lebih mendahulukan ucapan dari pada berfikir yang kemudian akhirnya berujung pada hujatan. Bila ditelusuri, group media sosial masyarakat Minang hari ini, hampir merata hanya berisikan cacian dan makian.Â
Banyak dari masyarakat menyebarkan  berita-berita yang tidak terklarifikasi, dan lebih memprihatinkan lagi, masyarakat mudah termakan provokasi oleh berita-berita tersebut. Hilang sudah satu kemampuan masyarakat Minang menjadi diplomator ulung, bila hanyut ditelan berita bohong yang cendrung tendensius.Â
Sebagai orang yang hidup dalam masyarakat Minang, saya merasakan bagaimana pentingnnya budaya Minang harus dilestarikan. karena, tentu saja dengan lestarinya budaya Minang, dapat mengantarkan pada kebijaksanaan dan ketentraman.