Mungkin karena semua kebaikan itu, aku merasa sangat terpukul dan menyesal telah membuat segores, bukan segores, aku telah membuat wajahnya murung walau seketika.
"Dyah gapapa, lupakan saja" begitu Dyah menjawab. Padahal aku tahu, lebih dari itu telah dia rasakan karena kecerobohan lidahku.
Meski hanya sesaat, tetapi rasa menyesalku tak kurang melihat Dyah termenung karena lisanku yang tak terdidik. Yang aku, meski tanpa sengaja telah membuat gadis riang nan cantik dengan pipi kemerahan itu bersedih.
"Jujur, tadi Dyah sedih. Tapi sudah gapapa. Jangan dipikirkan" sambungnya. Yang kalimat itu kian membuatku tersadar, ternyata seluas itu hatinya, selembut itu jiwanya dan aku masih tak bersyukur, tega mencoretnya dengan noda.
Hai Dyah, aku salah dan sangat menyesal. Meski beribu-ribu kali meminta maafpun, rasa menyesalku tak habis-habis. Aku malu padamu, merasa iri dengan keluhuran hatimu yang memaafkan aku seketika saja. Harusnya aku kau hukum.
Hai Dyah, melalui tulisan ini. Yang sebenarnya tak begitu penting bagimu. Biarlah lagi-lagi aku meminta maaf. Tulisan ini akan menjadi saksi, bahwa inginku, tak akan ku gores luka sekecil apapun. Bahwa harapku, tulisan ini menjadi pengingat agar tak mengulang kesedihan di wajahmu yang permai.
Tulisan ini, aku buat saat tak tertidur meski sudah mencoba sejak 3 jam lalu. Aku menyesal dan meminta maaf. Hai, Maafkan Aku. (END)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H