Mohon tunggu...
Zulham Mahasin
Zulham Mahasin Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

..adalah seorang mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Iowa State University, Amerika. Juga aktif sebagai tenaga pengajar pada Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menakar Keberhasilan Kebijakan "Full Day School"

9 Agustus 2016   14:17 Diperbarui: 9 Agustus 2016   14:37 449
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terlepas dari kontroversinya, saya kira usulan mendiknas tentang "full day school" (FDS) ini cukup menarik untuk dikaji tentu dengan argumen yang rasional.

Ada yang mengatakan bahwa kebijakan FDS akan mengurangi frekuensi interaksi antara orang tua dan anak. Saya sendiri tidak melihat itu sebagai prioritas, sebab saya tidak berani mengatakan bahwa anak yang lebih tinggi frekuensi interaksi dengan orang tua akan lebih baik dibanding yang rendah. Sebab, dengan begitu, bukan saja saya merendahkan alumni-alumni pesantren, tetapi juga Bapak saya sendiri, sebab meski beliau bukan alumni pesantren, sejak lulus SD Bapak sudah merantau meninggalkan orang tua dan tanah Mandar kelahirannya sehingga amat jarang berinteraksi dgn keluarga inti beliau. 

Hingga kini saya amat menganggap beliau sebagai pribadi yang sangat baik meskipun tumbuh besarnya tidak didampingi orang tua. Itu sebabnya, saya tidak mau jumawa mengatakan bahwa saya yang besar dengan orang tua lebih baik dari mereka. Memang, yang paling utama dalam interaksi orang tua-anak itu bukan sekedar kuantitas (seberapa sering) tetapi juga kualitas (seberapa baik) interaksinya.

Melihat alasan mendagri bahwa kebijakan FDS ini bertujuan untuk;

"....menghindarkan siswa dari pengaruh-pengaruh negatif dan kegiatan kontraproduktif, seperti penyalahgunaan narkoba, tawuran, dan sebagainya..., melalui kegiatan belajar dan ekstrakurikuler yang menyenangkan dan membentuk karakter, kepribadian, serta mengembangkan potensi mereka..." (dikutip dari kompas online hari ini)

Melihat itu, penambahan jam belajar sebenarnya bukan bertujuan untuk mengurangi interaksi di rumah, tetapi justru untuk mengurangi interaksi di luar rumah (namun bukan juga di sekolah), utamanya pada lingkungan yang sulit diawasi.

Saya pikir ide tersebut penting untuk dibedah pada porsi diskusi yang tepat mengingat kenakalan remaja cukup meresahkan akhir-akhir ini.

Namun ada juga beberapa hal yang perlu dipertimbangkan jika benar ide ini akan dijalankan. Pertama dan utama adalah kesiapan sekolah. Di beberapa negara maju (kecuali Finlandia), jam sekolah lebih panjang dibandingkan Indonesia. Di Amerika, kata kawan saya, jam sekolah beragam untuk tiap negara bagian, namun umumnya sekitar 6-7 jam dari pagi hingga sore. Meski begitu, umumnya kegiatan di sekolah tidak hanya belajar-mengajar, tetapi juga kegiatan ekskul seperti olahraga atau musik. 

Sekolah mesti menyiapkan fasilitas agar siswa dapat menyalurkan hobby-nya. Oleh karena itu, pertanyaan pentingnya adalah apakah fasilitas-fasilitas tersebut dapat disediakan untuk siswa-siswa agar "kerasan" di sekolah. Selain itu, perlu juga didesain sistem dimana siswa dapat menyalurkan "pencarian jati diri"-nya di sekolah. Pengamatan saya, salah satu akar masalah remaja (tawuran misalnya) adalah sebagai proses untuk mencari status sosial di lingkungan pergaulan siswa. 

Umumnya, sekolah memberikan "kedudukan penting" bagi siswa berprestasi akademik, sementara prestasi non-akademik masih sering dianggap sebelah mata. Siswa-siswa pintar menjadi anak-anak kesayangan yang diidolakan. Padahal, tidak semua siswa memiliki keterampilan akademik bahkan skill yang sama. Setiap siswa itu unik, sebab pasti memiliki keterampilan dan bakat tertentu yang bisa ditingkatkan. Pengamatan saya selama sekolah, senakal-nakalnya seorang siswa, ada saja keahlian yang dimilikinya, entah itu olahraga (sepakbola, basket, catur, beladiri), atau seni (main gitar, gambar, desain dll). Sayangnya, keterampilan seperti itu sangat jarang mendapatkan perhatian khusus sebab seringkali yang dianggap prestasi adalah prestasi akademik saja. 

Seorang siswa yang meski tidak pintar secara akademik, namun punya bakat dalam hal seni, lalu tidak mendapatkan penyaluran untuk merasa diakui, akan berupaya untuk menaikkan status sosial (baca: cari perhatian) dimata teman-teman dan lingkungannya. Mereka pun mencari dan menggunakan standar tertentu untuk itu. Misalkan, seorang siswa misalkan yg tidak pintar secara akdemik, bisa saja mencari jati diri melalui kesan "berani" atau "jagoan" agar diakui oleh kawan-kawannya. Oleh karena itu, selain menyiapkan fasilitas untuk menyalurkan hobby siswa, sekolah juga perlu memberi apresiasi setimpal bagi siswa yang punya prestasi non-akademik.

Kemudian, juga yang perlu diperhatikan adalah keseimbangan kapasitas sekolah (dalam hal ini kualitas dan kuantitas guru) dalam mengakomodasi siswa dalam jangka waktu yang lebih lama dari biasanya. Memberikan wewenang bagi sekolah untuk menampung siswa sepanjang hari, perlu ada kepercayaan bahwa sekolah merupakan tempat interaksi positif yang tepat selain rumah. Beberapa video yang pernah viral di sosmed, kenakalan remaja bahkan bisa saja terjadi dalam lingkungan sekolah. Masalah bully misalnya. Tidak jarang bully itu juga terjadi didalam kelas dan luput dari perhatian aparat sekolah. Ini bisa terjadi akibat lemahnya pengawasan aparat sekolah yang mungkin saja disebabkan karena kurangnya personil. Memang dibeberapa tempat, rasio antara guru dan murid lebih timpang. Padahal rasio ini cukup menetukan kualitas sekolah sebagai sarana belajar yang menyenangkan. Di beberapa negara, satu kelas yang berisi kurang dari 20 siswa bisa diasuh oleh dua hingga tiga guru. Sementara beberapa sekolah di Indonesia, apalagi di desa-desa, tak jarang satu guru mengawasi dua kelas.

Selain itu, agaknya disparitas ekonomi keluarga juga akan mempengaruhi keberhasilan kebijakan ini. Jika Mendikbud mengatakan bahwa kebijakan ini akan menguntungkan bagi orang tua yang bekerja sehingga tidak dapat mengawasi anak-anaknya, maka persoalan kemudian adalah bahwa tidak semua keluarga memiliki masalah yang sama. Beberapa keluarga justru membutuhkan anaknya setelah jam sekolah. Cukup banyak siswa di Indonesia berasal dari keluarga tidak mampu, sehingga anak-anaknya mesti turut membantu ekonomi keluarga usai sekolah. Di daerah pedesaan, banyak anak-anak sekolah yang turun ke ladang membantu orang tuanya seusai sekolah. Tentunya, kebijakan FDS ini akan berkonflik dengan kepentingan keluarga yang tidak mampu tersebut.

Menakar persoalan-persoalan tersebut (dan mungkin juga persoalan-persoalan lain yang tidak dibahas disini), menerapkan FDS, sebaik apapun kegunaannya, perlu dikaji dengan hati-hati. Demikian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun