Mohon tunggu...
Zulham Mahasin
Zulham Mahasin Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

..adalah seorang mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Iowa State University, Amerika. Juga aktif sebagai tenaga pengajar pada Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Wisata Kita Mesti Dibangun oleh Orang Asing

19 Mei 2016   11:47 Diperbarui: 19 Mei 2016   12:52 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Musim semi itu musimnya bunga berwarna-warni. Yang pertama kali mekar adalah magnolia, setelah itu jenis bunga yang lain bermekaran dan layu bergantian hingga akhir musim semi. Salah satunya adalah tulip di kampus ini yang mencapai puncak keindahannya pada awal bulan Mei. Dan tentang tulip, saya punya sedikit cerita.

Belanda dikenal sebagai negara Tulip (meskipun konon Tulip Belanda dibawa dari kekaisaran Turki Ottoman). Di Belanda, tulip sudah menjadi brand. Di musim semi, hampir setiap sudut pekarangan rumah punya tulip. Bahkan dipinggir jalan. Di pusat kota Amsterdam, mudah ditemukan penjual bibit tulip. Dan yang paling dikenal oleh wisatawan tentunya adalah jutaan kuntum dari 800 varietas tulip diKeukenhof, taman bunga yang hanya dibuka antara Maret hingga Mei setiap tahun.

Namun, meski Keukenhof mampu menarik hampir satu juta wisatawan asing hanya dalam dua bulan, beberapa kawan saya orang Belanda justru belum pernah kesana. Bagi mereka, tulip itu "hal biasa saja". Entah syndrom apa ini namanya, agaknya sense orang lokal terhadap tempat menarik dilingkungannya seringkali lebih rendah dibanding orang asing. Keheranan saya pada orang Belanda yang belum pernah ke Keukenhof mungkin sama dengan keheranan orang Amerika pada saya yang belum pernah ke Bali.

Nah, agaknya fenomena ini yang tidak tertangkap oleh pariwisata kita... Jika ingin membangun pariwisata kelas dunia yang memikat, mulailah dari perspektif wisatawan asing. Sebab, ide dasar traveling sebenarnya sederhana, yakni "ingin mengalami hal-hal baru".

Sayangnya, seringkali konsep wisata dibangun bukan melalui perspektif (baca:"kebutuhan") wisatawan, melainkan karena "keinginan" kita sebagai orang lokal, itupun segelintir. Jadilah akhirnya kawasan wisata dibangun tanpa sentuhan identitas lokal. Akhir-akhir ini, kita lebih sering menduplikat (atau menjiplak) model bangunan pariwisata di kota-kota besar dunia. Ironisnya, wisata kita justru lebih diwarnai identitas modern. Mulai dari menara-menaranya, gerbang-gerbangnya, taman-taman bermainnya, bahkan budaya-budayanya.

Padahal, sederhana saja, turis asing itu datang bukan karena ingin merasakan nikmatnya naik roller coaster, bukan pula karena ingin ke Mall yang mewah, apalagi berfoto didepan bangunan yang punya kemiripan dengan negara asalnya. Mereka ingin merasakan sensasi naik becak meskipun disemprot asap kenalpot pete-pete (angkot) didepannya, ingin ber-selfie ria bersama nelayan diatas perahu katinting, ingin belajar memetik kecapi, bahkan ingin belepotan gula merah karena makan pisang epe dipinggir jalan.. Intinya, mereka ingin hal baru!

Seorang teman Amerika pernah tinggal selama setahun di Gorontalo. Ia datang melalui program mengajar bahasa Inggris Fulbright. Di sebuah blog, ia menuangkan kesannya selama ia di Gorontalo. Ingin tahu pengalaman apa yang ia tuangkan pertama kali? Ia bercerita tentang asiknya bersepeda berkeliling kota, lalu lanjut mengunjungi suasana pedesaan disekitar kota Gorontalo. Ia juga bercerita tentang suasana berkemah di alam terbuka disebuah gunung setelah meminta izin pak desa. Asik sekali katanya.

Kawan di Makassar bercerita, dulu dia pernah kedatangan teman orang asing yang memintanya untuk meminjamkan motor karena ingin mengunjungi areal persawahan. Seorang teman lain bercerita ketika dia membawa temannya asal Jepang ke sebuah kebun. Orang Jepang tersebut, kata teman saya, hanya asik berfoto-foto dengan... pepaya! Maklum, ia belum pernah melihat pepaya di tempat asalnya seranum di Indonesia.

Suasana pedesaan, pepaya yang merah ranum, apa uniknya? Ya, tidak unik mungkin bagi kita orang lokal. Tetapi bagi orang asing yang tidak pernah melihat kilauan padi menguning mengelilingi rumah berdinding gamacca beratap rumbia, itu super eksotik!!

Agaknya konsep pariwisata kita memang mesti ditinjau ulang. Bangunlah melalui mata orang asing. Mulailah dari cara pandang mereka. Bayangkan jika anda berkunjung ke sebuah daerah lalu kembali ke daerah anda, pasti yang diceritakan adalah pengalaman-pengalaman baru. Oleh karena itu, ciptakan "pengalaman-pengalaman baru" berwisata tersebut dengan warna-warni identitas lokal. Tengoklah Jepang, tidak afdol orang berwisata ke Jepang jika tidak berfoto depan kuilnya, atau setidaknya mengenakan kimononya. Padahal, dengan lebih dari 700 suku di Indonesia, kita pasti sangat unggul warna-warni identitas. Dengan cara itu, budaya lestari, ekonomi pun tumbuh.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun