Saat kita melakukan perjalanan, kerap rasanya kita menemui pengamen, entah itu ketika menggunakan kendaraan pribadi ataupun kendaraan umum seperti bus ataupun angkot. Ketika kita berjalan-jalan, sering juga kita menemui banyak pengemis, baik dari anak kecil sampai orangtua. Jika kita tinggal di perkampungan di dekat kota, tak jarang kita menjumpai seseorang yang mengorek-orek sampah di depan rumah kita, atau sering kita sebut sebagi pemulung.
Sekilas, kita memandang bahwa orang-orang seperti itu (pengamen, pengemis dan pemulung) adalah orang-orang yang kurang mampu, atau di sebut juga dengan “miskin”, hingga biasanya kita iba melihat orang-orang tersebut dan kemudian memberikan uang kecil yang kita miliki, dengan niat membantu dan shodaqoh.
Di Yogyakarta, terdapat beberapa tempat yang digunakan untuk tempat tinggal orang-orang tersebut, contohnya yaitu di samping perempatan jalan sagan (dekat dengan pom bensin sagan). Selain itu, terdapat juga suatu perkampungan yang ada di bantaran sungai gajah wong, desa tersebut dinamai dengan desa ledok timoho. Desa tersebut didirikan oleh orang –orang yang tersisihkan, karena diakibatkan oleh pembangunan suatu universitas yang ada di Yogyakarta. Di dalam kampung tersebut, banyak orang yang berprofesi seperti tersebut diatas.
Tidak dipungkiri, bahwa biasanya dalam suatu desa, pastilah terdapat anak-anak kecil yang membutuhkan proses belajar. Dikarenakan kurangnya minat belajar mereka, maka ada seorang sukarelawan, yang mau mengurusi sekolah di desa Ledok Timoho tersebut. Dia adalah seorang wanita yang prihatin akan nasib anak-anak di desa tersebut, wanita tersebut bernama anggi. dia dan beberapa temannya membangun sebuah PAUD di desa itu. Setalah di tanya mengapa sekolah yang didirikan adalah PAUd, anggi menjawab bahwa “sebenarnya di desa ini, orang-orangnya tidak miskin, miskin di sini berarti secara material, mereka semua berkecukupan, apalagi untuk makan, mereka sangat mampu, hanya saja mereka itu dapat dikatakan sangat miskin secara pikiran, maksudnya mereka itu hanya memikirkan untuk hari ini saja, tanpa memperhitungkan untuk besok dan seterusnya (seperti memikirkan untuk menabung uang) misalnya saja dalam sehari, mereka mendapatkan penghasilan sebesar Rp.100.000,-, maka pada hari itu juga akan habis, tanpa ada menyisihkan untuk hal-hal yang lain”. Oleh karena itu, anggi dan teman-temannya berfikiran bahwa sulit untuk mengubah cara pandang dan fikiran orang-orang yang sudah dewasa, maka dari itu, dia ingin mengkonstruk pikiran kedalam anak-anak yang masih dini di desa itu, agar “miskin fikiran” tidak terjadi pada generasi beriktunya.
Dari penuturan seorang sukerelawan tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa orang-orang tersebut diatas bukanlah orang miskin secara financial seperti yang selama ini kita fikirkan, namun mereka adalah orang-orang yang miskin skill dan pemikiran, bahkan parahnya lagi, bahwa miskinnya pemikiran sudah masuk pada benak anak-anak yang sudah bisa berfikir (umur 7th keatas). Anak-anak itu,jika di tanya mengapa mereka tidak bersekolah, jawabannya bukan karena tidak mempunyai biaya, tapi karena malas. Seorang pengamen cilik beranama aryo, pernah berkata “ngapain sekolah, orang nggak sekolah aja bisa dapet uang”, dan ketika di tanyakan mengenai penghasilan yang ia dapatkan setiap harinya, ia menjawab bahwa uang yang ia dapatkan yaitu kisaran 50-200 ribu setiap harinya. Uang yang mereka dapatkan juga tidak lantas mereka tabung, anak itu juga mengatakan bahwa “ya sebagian aku kasih ibu, tapi kebanykannya aku pake buat main game on-line di warnet, dari sore sampai pagi, tapi kalo pas hari libur aja”.
Jadi, kita harus berfikir beberapa kali untuk memberi uang receh kita untuk mereka, bahkan sekarang pemerintah mulai men-denda orang ketahuan memberi “mereka” uang receh. Namun member itu tidak selamanya jelek, selam kita benar-benar melihat bahwa mereka benar-benar butuh bantuan, apalagi sekarang banyak badan-badan untuk menyalurkan uang sumbangan kita, agar uang yang kita berikan benar-benar tersalurkan pada orang yang membutuhkan ataupun berguna dalam turut membangun Indonesia yang produktif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H