Mohon tunggu...
Zulfitra Agusta
Zulfitra Agusta Mohon Tunggu... -

Saya adalah pekerja di Bank BUMN. Fotografi dan menulis adalah hobi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ketika Profesi Pengamen Menjadi Sangat "Mantap"

8 Mei 2012   12:53 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:33 858
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13364888301218485051

[caption id="attachment_187092" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] Pagi ini saya berangkat ke kantor di Kawasan Sudirman naik bis patas AC jurusan Senen-Ciputat. Sayapun mencari tempat favorit, yaitu posisi di kiri sopir. Tidak berapa lama naiklah seorang pengamen yang langsung membagikan sejumlah amplop yang berisi permintaan untuk memberikan uang. Kata-katanya standar, bahwa dia bisu,  tidak mampu dan butuh uang untuk hidup sehari-hari. Yang membuat saya terkejut adalah, saya sangat mengenali orang ini. Dia juga menjadi pengamen (sekaligus pengemis menurut saya) ketika saya masih kost di tempat lama di Kenari, Salemba sekitaran tahun 2008. Sayapun langsung mengamati orang ini. Saya masih ingat dulu dia masih kurus, kucel, berdaki dan kumuh. Sekarang dia tampak lebih gemuk, kulitnya bersih, rambutnya dipotong rapi dan sangat mengejutkan dia juga memakai jam tangan (sepengetahuan saya, sangat jarang pengamen atau pengemis make jam). Tidak berapa lama, orang ini menyudahi aksinya dan  menarik kembali amplop yang disebar ke penumpang bis. Ketika orang ini lewat di hadapan saya, saya mendengar bunyi "ping" standar Blackberry dari dalam saku bajunya. Namun mengejutkan, orang ini tetap memasang muka memelas ketika lewat dihadapan penumpang, seolah tetap menunjukkan dia tetap harus dikasihani. Kemudian dia turun dari bis dan menghilang dari pandangan saya. Sayapun merenung kembali, setidaknya saya juga ingat sejumlah pengamen (juga pengemis) yang wara-wiri di bis kota juga masih beroperasi semenjak tahun 2008 atau 2009 dulu. Bedanya sekarang mereka tampak lebih "segar". Di kantor iseng-iseng saya ambil kalkulator untuk menghitung pendapatan mereka. Diasumsikan mereka naik bis 2 kali dalam 1 jam, khususnya bis jarak menengah. Satu bis jarak menengah berpenumpang 60 orang. Jika diasumsikan ada 10 orang memberikan uang masing-masing Rp. 500, maka dalam 1 kali naik bis dia mendapat Rp. 5.000,- 1 bis = 5.000, berarti 2 bis dia dapat 10.000. Sementara jika jam kerjanya "hanya" 8 jam dalam sehari, maka 8 x 10.000 = 80.000. Artinya dia dapat Rp. 80.000 dalam sehari. Jika dalam sebulan kerjanya 30 hari, maka tinggal dikalikan aja Rp. 80.000 x 30 = Rp. 2.400.000,- SEBULAN. Bayangin aja, pendapatan mereka bisa ngalahi UMR DKI, hanya dengan wara-wiri di bis kota. Jadi sangat wajarlah mereka setelah beberapa waktu akan terlihat lebih baik, lebih klimis, lebih rapi dan mungkin sudah beli HP atau BB. Saya jadi menyadari, bahwa profesi ini sangat mantap dan wajarlah jika orang yang sudah berkubang dan berkecimpung disini akan menikmati hasil yang bagus, dan tidak mau beranjak dari zona nyaman ini. Sebenarnya asumsi diatas bisa saja lebih, karena sepengetahuan saya seorang pengamen bisa mendapat sampai Rp. 150 ribu sehari. Bayangin aja, penghasilannya bisa mencapai Rp. 4.500.000,- perbulan, alias bisa ngalahin gajinya Teller Bank. Dunia memang semakin tua...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun