Mohon tunggu...
zulfirman rahyantel
zulfirman rahyantel Mohon Tunggu... -

ambon manise

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Melawan Urban dari Negeri Huahulu (Refleksi Kritis atas Degradasi Sosial Budaya Lokal di Negeri Pedalaman Maluku)

26 Juni 2015   12:56 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:45 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengaruh globalisasi dan neoliberalisme kini telah menawarkan alternative bagi pencapaian standar hidup yang lebih tinggi. Trend globalisasi yang sering diperbincangkan oleh banyak orang dewasa ini seolah-olah itu terjadi secara alamiah dan wajar sebagai konsekuensi logis dari dinamika pembangunan yang progresif. Pengabaian terhadap fakta dibalik by design globalisasi dan neoliberalisme yang merupakan metamerfosa dari liberalisme , kian memperlemah refleksi kritis negara-negara berkembang yang termasuk indonesia akan posisinya yang terhimpit oleh arus globalisasi dan hegemoni neoliberalisme yang sedang mengarahkan bangsa ini menjadi republik pasar bebas. Sebagaiman yang direflekasikan Susan George dalam gagasannya tentang republik pasar bebas.

Jika globalisasi menciptakan tatanan dunia tanpa batas-batas teritorial, neoleberalisme turut mengkhendaki tatanan ekonomi dunia tanpa intervensi negara. Keduanya memetakan dunia sebagai village global (kampung global) bagi sebagian orang dan juga sebagai pillage global (Penjara global) bagi sebagian yang lain.

Pengaruh Globalisasi melalui budaya urban yang semakin menjadi dipaksakan kepada masayarakat pedalaman sehingga nilai-nilai budaya lokal semakin tergerus . ketika kata ”Peradaban” disematkan kepada sesoarang atau seklompok masayarakat maka yang muncul presepsi yang dimaksud dengan tingkat peradaban baik itulah adalah mereka yang memeliki akses yang baik terhadap teknologi, mereka yang memilki kendaraan pribadi , serta segala pernak-pernik kehidupan kota disematkan padanya.

Lantas bagaimana dengan mereka yang hidup didaerah terisolir yang jauh dari semua fasilitas diatas . apakah mereka jauh dari kata ”Peradaban”. Bagaimana dengan mereka yang sejak dulu kehidupannya hanya berburu suasana sosial kehidupannya hanyalah sebatas paguyuban dalam sisitem sosialnya, yang jauh dari suasana sosialita perkotaan. Lantas bagaimana juga dengan mereka yang tidak bisa membanca, yang mereka tahu hanyalah membanca tanda alam untuk kapan waktu yang baik berburu dan bercocok tanam. Apakah boleh kita sebut mereka tak memliki ”Peradaban”.

Paradigma masyarakat urban yang menjadikan penilaian kepemilikan barang mewah (motor, Hp, TV, Kulkas, dll) sebagai indetitas sosial yang dengan dapat diakui eksistensinya oleh yang lain. Merasuk dan menjalar masuk kedalam pikiran masayarakt pedalaman yang akhirnya seperti sebuah hegemoni bagi mereka.

Budaya lokal mulai tergerus habis, kain berang sebagai simbol budaya luhur yang menjadikan para lelaki pedalaman bangga dengan semangat ksatria menggunakanya kini di ganti dengan topi yang memaksa mereka menikmati identitas modern. Tanah yang dulunya menjadi hal yang suci dan sakaral , tanah yang melekatkan mereka pada kerja, tanah yang sebagai media mereka mendekatkan diri dengan Tuhan dan para luhur kini sudah tak sakaral lagi.

Atas nama ”Peradaban” para pemilik modal dari kota datang kepada mereka dan memabawa pengaruh urban dalam pradigma kepemilkan barang mewah menjadikan masyarakat sebagai objek eksploitasi sebagai awal ingin menguasai lahan mereka. Masayarakat menjual tanah mereka yang dulunya sakral dalam wujud pergantian dengan 1 kendaran bermotor untuk tanah berhektar-hektar. Sekali lagi atas nama ”Peradaban” yang di identikan dengan kepemilkan barang mewah masyarakat ini menjual tanah mereka dan akhirnya justru mereka menjadi buruh tanah atas tanahnya sendiri.

Teringat refleksi seorang mama (ibu) di Papua ketika perusahan ingin membeli tanah miliknya , dia berkata kepada suaminya ”kami tidak bisa melahirkan tanah, jika kalian jual tanah-tanah itu kemana lagi sumber hidup untuk anak-anak kita kelak. Semoga budaya menjual tanah di pesisir pedalaman Maluku menurun dengan adanya kesadaran masyarakat akan ”kemajuan ” itu tidak di identikan kepemilikan barang mewah.

Negeri Huahulu adalah cermin negeri pedalaman yang melawan urban, keorsinailan budaya mereka, kain berang tetap menjadi identitas laki-laki mereka, arsitektur rumah yang dari daun sagu serta berdinding pelepah daun sagu. Masyarkat yang hidup secara bersama tanpa listitrik. Budaya kahua, Pinamuhu, cakalela, serta ritual-ritual yang mengangungkan tanah dan alam sebagai wujud pendekatan diri kepada Tuhan. Mereka protes terhadap penjualan tanah karena bagi mereka tanah itu sakral. Hidup sederhana tanpa listrik di tepi hutan toh mereka masih bertahan sampai sekarang. Pengorbanan kepada sesama dijadikan sebagi ukuran identitas (keunggulan) seorang dari yang lain.

Dari mereka kita belajar ternyata ukuran ”Peradaban” itu bukan tentang kepemlikan barang mewah. Tetapi peradaban itu terletak pada makna ”Peradaban” itu sendiri yakni puncak dari kreativitas budaya manusia. Biarlah semua orang berkembang menurut budaya nya . tak bisa kita paksakan satu ukuran puncak kreativitas dari bangsa tertentu kepada semuanya. Dari negeri Huahulu, bukan kita tak suka perkembang teknologi, bukan kita menolak urban tapi yang kita tolak adalah pengaruhnya kepada masyarakat awam yang menjadikan mereka lupa akan budayanya , lupa akan identitasnya dan lupa akn leluhurnya.

*Mahasiswa Mangement of Forestry Unpatti Ambon

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun