Mohon tunggu...
Zulfika Satria Kusharsanto
Zulfika Satria Kusharsanto Mohon Tunggu... Ilmuwan - Peneliti Kebijakan Riset dan Inovasi

Lulusan Urban and Economic Geography, Utrecht University. Selalu mencari cara agar bermanfaat untuk sesama.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Memuliakan Sungai, Mencegah Bencana

10 Maret 2014   03:41 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:06 573
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Banjir di Jalur Pantura Jateng awal 2014 lalu (Sumber: http://tempo.co)

Bencana banjir yang tempo lalu terjadi di kota-kota di Indonesia di awal tahun 2014 ini merupakan pertanda bahwa adanya ketidakseimbangan ekologi antara pembangunan dengan kondisi alam. Banjir umumnya terjadi karena air limpasan tidak mengalir sempurna pada saluran drainase dan tidak banyak meresap ke dalam tanah atau vegetasi. Bencana banjir akhir-akhir ini tidak hanya terjadi di Kota Semarang saja, tetapi juga terjadi di beberapa kota/kabupaten di jalur pantura Pulau Jawa yang sebelumnya jarang terjadi banjir, sebut saja Kendal, Kudus, Pemalang, dan lainnya. [caption id="" align="aligncenter" width="496" caption="Banjir di Jalur Pantura Jateng awal 2014 lalu (Sumber: http://tempo.co)"][/caption] Salah satu penyebab dari ketidakseimbangan kondisi ekologi ini terlihat dari peran sungai yang sudah tidak berfungsi optimal. Kondisi yang paling umum adalah pendangkalan sungai akibat endapan yang terlalu tinggi. Akibatnya, sungai tidak sanggup menampung debit air yang tinggi seperti saat ini. Kondisi tersebut diperparah juga dengan perilaku masyarakat sekitar yang cenderung “mengabaikan” sungai. Kebanyakan sungai di perkotaan penuh sampah, memiliki kualitas air yang buruk, bahkan dijadikan lokasi MCK. Seringkali sepanjang bantaran sungai menjadi lokasi “kantong kemiskinan” yang ditinggali masyarakat berpenghasilan rendah. Vollmer dan Gret-Regamey (2013) dalam penelitiannya di Sungai Ciliwung menyebutkan bahwa di negara berkembang seringkali pembangunan infrastruktur perkotaan jauh tertinggal dibanding pertumbuhan penduduk. Akibatnya, masyarakat berpenghasilan rendah memilih bertempat tinggal di sepanjang bantaran sungai untuk memenuhi kebutuhan air, sanitasi, dan rekreasi dengan mudah. Adanya penghuni di bantaran sungai tentu akan memberikan peluang sampah rumah tangga menggenangi sungai. Bukan salah masyarakat saja, pemerintah pun juga berkontribusi karena tidak tegasnya perlindungan daerah aliran sungai sebagai kawasan konservasi. Tidak adanya akses hunian vertikal murah (misal rusunawa) juga menjadikan lahan terbuka semakin terbatas karena dijadikan rumah-rumah tidak sehat. Di Kota Semarang sendiri, kondisi tersebut bisa terlihat di Kali Semarang di sepanjang Kelurahan Purwodinatan, Kauman, Kuningan, hingga Bandarharjo. Sedangkan di Kota Surakarta misalnya, kondisi tersebut terlihat di sekitar Kali Pepe yang dikenal sebagai salah satu kawasan kumuh, padahal sejatinya memiliki nilai historis yang tinggi. [caption id="" align="aligncenter" width="461" caption="Kali Semarang yang penuh sampah dari aktivitas permukiman dan perdagangan"][/caption] Sudah saatnya setiap kota memuliakan sungainya secara lestari dengan merestorasi sungai. “Restorasi sungai” berbeda dengan sekadar “normalisasi sungai” yang fokus hanya pada pengerukan dan pelebaran sungai. Menurut Riley (1998) dalam bukunya Restoring Streams in City menjelaskan bahwa restorasi sungai merupakan sebuah proses menampilkan ekosistem sungai seperti aslinya termasuk menghidupkan kembali hubungan lestari antara alam dan budaya. Restorasi sungai singkatnya tidak hanya mengembalikan fungsi utama sungai sebagai daerah aliran air, tetapi bagi kepentingan alam juga dijadikan daerah resapan air dan bagi kepentingan sosial dijadikan area kenyamanan sungai bagi masyarakat untuk berekreasi. Penerapan terbaik (best practice) restorasi sungai yang seringkali disebut dalam berbagai referensi adalah Sungai Cheonggyecheon di Seoul, Korea yang awalnya adalah jalan layang. Walikota Seoul saat itu berinisiasi membongkar jalan yang tidak memiliki nilai ekologis tersebut untuk disulap menjadi sungai perkotaan yang jernih dan alami (bahkan ikan bisa hidup di situ). [caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="Aliran sungai Cheonggyecheon dulu dan sekarang (Sumber: http://greatecology.com)"]

[/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="483" caption="Sungai Cheonggyecheon sebagai area publik di Seoul (Sumber: http://www.inhabitat.com)"]
Sungai Cheonggyecheon sebagai area publik di Seoul (Sumber: http://www.inhabitat.com)
Sungai Cheonggyecheon sebagai area publik di Seoul (Sumber: http://www.inhabitat.com)
[/caption] Salah satunya penerapan restorasi sungai yang cukup baik di Indonesia adalah Sungai Banjir Kanal Barat di Kota Semarang. Selain fungsi sungai yang optimal sebagai sistem drainase perkotaan yang berkelanjutan, sungai tersebut telah menjadi area kenyamanan sungai yang bisa dimanfaatkan masyarakat untuk berekreasi. Pemerintah Kota Semarang juga aktif mengadakan kegiatan untuk mengajak masyarakat aktif peduli terhadap kondisi dan sejarah sungai dengan mengadakan Festival Banjir Kanal Barat dan Festival Perahu Warak. [caption id="" align="aligncenter" width="512" caption="Festival Perahu Warak di Sungai Banjir Kanal Barat Semarang (Sumber: http://www.thejakartapost.com)"]
Festival Perahu Warak di Sungai Banjir Kanal Barat Semarang (Sumber: http://www.thejakartapost.com)
Festival Perahu Warak di Sungai Banjir Kanal Barat Semarang (Sumber: http://www.thejakartapost.com)
[/caption] Restorasi sungai ini tentu saja perlu diterapkan di sungai-sungai lain terutama yang memiliki nilai historis tinggi seperti Kali Semarang misalnya. Kali Semarang memiliki rekam jejak sejarah Kota Semarang yang sangat tinggi. Hingga saat ini, Kali Semarang menjadi linkage bagi kawasan historis di Kota Semarang yaitu Kawasan Pecinan, Kampung Melayu, dan Kawasan Kota Lama. Namun, kondisinya yang buruk seperti sedimentasi yang tinggi, kualitas air yang buruk, dan sampah yang menggenang di sungai menjadikan Kali Semarang seperti “terlupakan”. Sudah saatnya Kali Semarang dirawat tidak hanya dengan dilebarkan dan dinormalisasi saja pada badan sungainya, tetapi juga harus dilakukan penataan di sepanjang sempadannya menjadi area vegetasi, resapan, dan lebih-lebih bisa menjadi area publik dan wisata air untuk masyarakat. Menjadikan sungai lebih indah dan bermanfaat bagi masyarakat akan mendorong masyarakat untuk tidak merusak sungai dan turut menjaganya. Partisipasi masyarakat juga hendaknya diperhatikan pemerintah mulai sejak rencana, implementasi, hingga monitoring. Partisipasi masyarakat bisa diwujudkan dengan membentuk komunitas pengawas kebersihan sungai. Manfaatnya, kegiatan monitoring akan lebih efektif karena ditinjau langsung oleh masyarakat yang merupakan ultimate beneficiary atau pihak yang paling mengerti manfaat dari restorasi sungai. Kuncian dari restorasi sungai adalah adanya identifikasi nilai historis, mengembalikan fungsi ekologis sungai, dan menjadikan sungai sebagai area rekreasi masyarakat. Sungai sudah seharusnya dipedulikan, menjadi halaman depan, dan menjadi “pahlawan” dalam mencegah banjir. Bukan menjadi “kambing hitam” saat luapannya menyebabkan banjir di perkotaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun