DINAMIKA PEMINDAHAN IBU KOTA NEGARA GUNA MENDUKUNG ]PERTUMBUHAN DAN PEMERATAAN EKONOMI INDONESIA
Berbicara mengenai pemindahan Ibu Kota Negara yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia sebenarnya bukanlah keadaan luar biasa, sesuatu yang besar, atau bahkan disebut sebagai hal yang baru. Jauh sebelum Pemerintah Indonesia memutuskan pemindahan Ibu Kota Negara, ada beberapa negara lain di belahan dunia telah lebih dahulu melakukannya. Alasan pemindahannya pun bermacam-macam tetapi yang pasti pemindahan Ibu Kota Negara itu dilakukan dengan mempertimbangan keadaan sosial dan ekonomi di negara tersebut dan dapat terjadi apabila pemerintah selaku pemegang kekuasaan politik tertinggi, menghendaki.
Beberapa negara adapula yang menentukan Ibu Kota Negara dan pemindahannya itu bukan sebab populasi ataupun keamanan tetapi sebab semangat persatuan. Presiden George Washington misalnya, Presiden Amerika Serikat periode 1789-1797, memilih lokasi Washington DC pada tahun 1790 sebagai jembatan antara negara bagian utara dan selatan karena tepat untuk dijadikan benteng persatuan selama Perang Saudara. Selaras dengan Amerika Serikat, Pemerintah Australia juga memilih Canberra sebagai Ibu Kota Negaranya pada awal abad ke-20 disebabkan karena jaraknya yang dianggap dapat menengahi Melbourne dan Sydney, dua kota besar yang bersaing karena kemajuan pembangunan dan teknologinya.
Tetapi penting diketahui bahwa tidak semua upaya pemindahan Ibu Kota Negara itu dilandasi dengan tujuan yang baik. Beberapa negara, tentunya negara-negara yang pernah memindahkan Ibu Kota Negaranya, adapula yang berupaya memindahkan Ibu Kota Negara sebab persoalan politik, sebab ingin membangun pusat kekuasaan yang jauh dari rakyatnya, dan alasan non populis lainnya.
Di Indonesia sendiri proses mengenai upaya pemindahan Ibu Kota Negara itu telah terjadi dari semenjak era Orde Lama, Orde Baru, hingga hari ini. Alasan mengapa dirasa perlu memindahkan ibu kota pun beragam dan menyesuaikan pada perkembangan zaman. Tetapi bagaimanapun upaya itu hendak dicapai maka Pemerintah perlu mencapainya dengan melalui aturan dan mekanisme yang berlaku sebagaimana prinsip Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yakni Indonesia adalah Negara Hukum.
Lanjut ke dalam pembahasan, permohonan pemindahan Ibu Kota Negara direalisasikan oleh Presiden pada tanggal 29 September 2021. Pada hari itu Menteri Sekretaris Negara Pratikno dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa mengirimkan Surat Presiden ke DPR perihal Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara (RUU IKN). Pada tanggal 3 November 2021 DPR RI kemudian menindaklanjuti Surat Presiden tersebut dengan melakukan pembahasan di Badan Musyawarah Dewan. Pembahasan Badan Musyawarah Dewan tersebut menghasilkan arahan untuk pembentukan Panitia Khusus. Berbagai macam agenda dilakukan oleh DPR RI dari studi banding, analisis bersama ahli, hingga penyempurnaan draft RUU IKN yang salah satunya menyepakati nama Nusantara sebagai nama Ibu Kota Baru. Pembahasan itu menemukan titik akhirnya pada tanggal 18 Januari 2022. Pada tanggal tersebut dan dalam agenda Rapat Paripurna RUU IKN disetujui sebagai Undang-Undang, yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara. Upaya pembangunan Ibu Kota Negara yang diberi Nusantara itupun resmi dimulai.
Dalam upaya pemindahan ibu kota negara (IKN) tentu harus mempertimbangkan dampak serta manfaat dari pindahnya ibu kota negara ke lokasi yang baru. Jika melihat kondisi sekarang yang terjadi di ibu kota, Jakarta memiliki beban berat untuk menjalankan roda perekonomian serta roda pemerintahan sekaligus, tampaknya menjadi suatu keputusan yang tepat jika Indonesia mengupayakan untuk memindahkan ibu kota negaranya ke lokasi baru yang lebih strategis dan bisa dikembangkan, dalam hal ini Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara. IKN harus mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan merata termasuk di Kawasan Timur Indonesia.
Di Indonesia kurang lebih 54,54% kegiatan ekonomi terpusat di pulau Jawa. Sebesar 21,58% di Sumatera, 8,20% di Kalimantan, 3,05% di Bali, Nusa Tenggara 6,22%, dan Sulawesi, Maluku serta Papua sebesar 2,57%. Perpindahan pusat pemerintah ke Kalimantan akan berkontribusi banyak terhadap perkembangan ekonomi di pulau Kalimantan khususnya provinsi Kalimantan Timur itu sendiri. Selain itu, bisa mengembangkan perdagangan antardaerah, terutama perdagangan antara pulau Jawa serta Kalimantan, sehingga terbentuk nilai ekonomi yang lebih maju. Perpindahan ibu kota baru ini akan lebih optimal jika didukung oleh produktivitas, inovasi, serta teknologi yang baik. Pemindahan ibu kota mungkin akan menimbulkan tambahan inflasi nasional minimal 0,3% meskipun nantinya tekanan dari sisi permintaan akan meningkat. Kenaikan inflasi berasal dari kenaikan harga lahan serta perbaikan pendapatan masyarakat yang tentunya juga diikuti oleh kenaikan harga barang kebutuhan pokok. Namun inflasi tersebut diperkirakan tidak akan terlalu mempengaruhi daya beli secara nasional karena kenaikan harga hanya terpusat di lokasi IKN dan sekitarnya. Tentunya dalam pembangunan IKN tersebut pastinya bakal menarik banyak tenaga kerja baru dan investor.
Berdasarkan hasil pembahasan, dapat disimpulkan bahwa pemindahan IKN memiliki dampak serta resiko terhadap perekonomian di Indonesia. Pemindahan IKN memiliki potensi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional dengan tingkat inflasi yang tetap rendah. Selain itu pertumbuhan wilayah industri dengan rantai nilai hingga hilir akan meningkatkan pendapatan masyarakat yang pada gilirannya akan menurunkan ketimpangan ekonomi antara Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa. Lalu, Secara formil proses pembentukan UU IKN untuk merealisasikan IKN tidak memiliki kekeliruan. Terlebih dalam waktu yang ditentukan UU tersebut telah diuji di Mahkamah Konstitusi dan dinyatakan gugatan formil atas Undang-Undang tersebut tidak dapat diterima.
Untuk saran, pertama, Pemerintah selayaknya memperhatikan aspek perencanaan dan tata ruang wilayah sehingga penggunaan lahan dapat efektif dan meminimalisir kemungkinan inflasi dari kenaikan harga lahan yang tidak terkendali. Kedua, pembentukan Undang-Undang IKN meskipun menjadi kewenangan dari legislatif selaku lembaga tetapi harus tetap memperhatikan partisipasi publik. Pembentukan Undang-Undang bukanlah proses formil prosedural belaka tetapi persoalan pada dampak penerima kebijakan publik. Oleh sebab itu maka perlu adanya inovasi yang dilakukan agar nantinya keterlibatan partisipasi publik terhadap kebijakan negara bisa maksimal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H