Mohon tunggu...
Zulfikar Zaki Ridwan
Zulfikar Zaki Ridwan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Future Lawyer & Entrepreneur

Saya adalah seseorang yang visioner

Selanjutnya

Tutup

Politik

Tugas Presiden Terpilih Dalam Politik Hukum Pidana Membentuk Legal Policy untuk Mewujudkan The Rule of Justice

21 Januari 2024   14:52 Diperbarui: 21 Januari 2024   15:05 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.learningroutes.in/mba-after-law/Input sumber gambar

Mendekati pemilihan presiden 2024 mendatang, para paslon presiden menyerukan visi dan misinya dalam debat capres mengenai gagasan soal ekonomi, perdagangan, infrastruktur, pertahanan, dsb. Serta para paslon mengumbar janjinya dalam kampanye yang akan diwujudkan jika terpilih demi kemajuan bangsa Indonesia. Namun tidak lupa yang penulis ingin tekankan kepada Presiden terpilih nanti mengenai pembentukan kebijakan hukum pidana yang adil tidak tebang pilih untuk mewujudkan" The Rule Of Justice" baik itu untuk kalangan masyarakat atas, menengah, dan bawah.

Diskursus politik akan selalu menyangkut tujuan masyrakat (Public Goals) yang dalam langkah pencapainnya mutlak diperlukan kebijakan sebagai langkah realisasinya. Kebijakan tersebut dituangkan ke dalam bentuk hukum (Peraturan Perundang-Undangan) sehingga eksistensinya akan mengikat masyarakat. Prof Sudarto mengartikan politik hukum sebagai usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu.

Salah satu masalah kenegaraan yang paling tua usianya adalah kejahatan, negara dan pemerintah dalam rangka memberikan perlindungan kepada warga negera harus menetapkan kebijkan kriminal (Criminal Policy) yang merupakan derivasi dari kebijakan negara dengan menggunakan sarana penal dan nonpenal.

Namun, jika kita melihat ada sejumlah kebijkan kriminal yang dinilai menuai kontroversi contohnya yaitu :

  • Pasal 217-240 dalam KUHP baru mengatur mengenai ketentuan penghinaan kepada Presiden/Wakil Presiden yang pelakunya diancam hukuman tiga tahun penjara dengan delik aduan. Adanya pasal ini dinilai akan membatasi penyampaian kritik kepada kepala negara. Mengenai pantas atau tidak pantasnya menyampaikan kritik, harus disampaikan dengan etika sehingga tidak patut dijerat dengan sanksi pidana.
  • Pasal 256 KUHP baru memuat ancaman pidana atau denda bagi penyelenggara demonstrasi tanpa pemberitahuan. Pasal tersebut memperlihatkan adanya kemunduran dalam berdemokrasi dan menempatkan kebebasan berpendapat pada posisi beresiko karena dianggap sebagai kejahatan. Penyampaian pendapat di muka umum adalah hak setiap orang dan dijamin UU No. 9 Tahun 1998. Penerapan pasal ini mengharuskan memberitahu kepada yang berwenang mengadakan unjuk rasa di jalan umum, serta yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum dan keonaran dapat dipidana paling lama enam bulan serta denda Rp10 juta

Pasal-Pasal dalam KUHP tersebut menuai kontroversi dan perdebatan tidak hanya diperdebatkan oleh  masyarakat umum, tetapi juga di lingkup stakeholder dan akademisi. Semoga presiden terpilih nanti dapat  menyelesaikan perdebatan tersebut karena politik hukum adalah bagian yang tidak terpisahkan dengan kebijkan publik yaitu kebijakan kriminal, kebijakan penegakan hukum, kebijakan perlindungan masyrakat (social defence policy), dan kebijakan sosial.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun