Mohon tunggu...
Puisi

Demitasse

13 April 2016   10:35 Diperbarui: 13 April 2016   11:20 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

@zulfikariza
“Kau punya selera yang aneh, Janice!”
 “Maaf?”
“Tidak ada yang menabur chocolate granule di atas espresso[1], Janice!”
“Why? Bukankah masing-masing orang punya selera sendiri-sendiri?”
“Setuju. Seperti chocolate granule di atas espresso?”
“Kau tahu, tak seorang pun dari temanku di kampus pernah memprotes seleraku ini, Fariz.”
“Kau melakukan ini juga selama di Warwick?”
“Err… yah, begitulah, kurasa…” “Kenapa wajahmu jadi aneh?”
“Kurasa, katamu?”
“Ayolah, Fariz.. setelah sembilan tahun, masa kau cuma mau meributkan masalah kopiku?”
“Nggak juga, Janice. Bukan sepenuhnya tentang kopi..”
“Lalu apa?”
“Pakai tissue ini dulu.”
“Hah?”
“Seka tanganmu.”
“Oh…”

***

“Jadi, kau sering datang ke café ini, kalau begitu?”
“Yah, aku kenal beberapa barista di sini.”
“Ya. Aku tahu itu.”
“Dari mana kau tahu?”
“Kau sering ketemu dengan Tim?”
“Kau belum jawab pertanyaanku, Fariz! Dari mana kau tahu kalau aku sering ke sini?”
“Sudahlah, Janice... apa kau sering ketemu dengan Tim?”
“Kau tetap seperti dulu ya, Fariz!”
“Nggak juga, aku yang sekarang nggak segrogi dulu ketika dekat denganmu.”
“Hahah…”
“Kupikir kau akan menikah dengan Tim!”
“No Way!”
“Kenapa? Apa international marriage berat buatmu?”
 “No! Bukan itu alasannya.”
 “Lalu? Apa karena dia orang London dan tinggal di London, sementara kau suatu saat pasti akan kembali ke negaramu?”
“Aku nggak pernah ada apa-apa dengan Tim, Fariz!”
“Kalau begitu aku telah salah menilai kalian selama sembilan tahun ini?”
“Kau.. ah, lagipula, apa dasarmu menilai kami seperti itu?”
“Tidak ada, cuma kecemburuan masa remaja, mungkin..”
“Hahaha… kau dulu suka padaku?”
“Aku mau pesan latte macchiato[2].”
“Akui saja, Fariz!”
“Aku mau pesan latte macchiato.”

***

“Sepuluh hari itu benar-benar mengubah hidup kita ya, Fariz?”
“Hidupmu, Janice. Kau yang berenang di mimpimu sekarang. Seperti yang kau presentasikan di student camp sembilan tahun yang lalu itu.”
“Kau sendiri?”
“Aku? Aku nyasar. Masuk keluar jurang. Jadi orang terbodoh yang menyia-nyiakan waktuku.”
“Apa maksudmu, Fariz?! Kau di sini sekarang! Authors’ Camp di London, bertemu kawan lamamu di sini di Warwick, dan menceritakan perjalananmu keliling dunia... Apa itu bukan mimpimu?”
 “Ya.. dan bukan.”
“Maksudmu?”
“Mimpiku waktu itu, Janice, adalah menjadi seorang guru Bahasa Inggris.” “Dan aku yang sekarang bukanlah seorang guru Bahasa Inggris.”
“Guru bukanlah orang yang berdiri di depan kelas yang sempit, lalu menghujani anak-anak dengan kalimat-kalimat yang sudah tertulis pada buku pelajaran mereka sendiri, Fariz.” “Guru terus berjalan. Melangkah ke jalan-jalan baru. Menjelajah negeri-negeri baru. Membuka pandangan-pandangan baru. Mendapat pengalaman baru. Lalu membagikan semuanya kepada murid-muridnya di seluruh dunia. Bahkan orang-orang yang tak dikenalnya bangga mengaku menjadi muridnya.”
“Aku nggak pernah minum latte macchiato yang sepucat ini, Janice.”
 “Fariz, aku sedang berbicara denganmu!”
“Janice… apa café ini punya gelas busa?”
“Fariz!”
“Aku mau pesan espresso, lalu kita keluar dari café langgananmu ini.”
“Fariz!”

 

***

“Kapan terakhir kali kau pulang ke Singapore?”
“Kau mengalihkan pembicaraan, Fariz!”
“Nggak juga.”
“Kita tadi sedang membicarakan mimpi kita di café! Mimpimu! Dan kau tahu, aku benar-benar nggak suka caramu merendah. Jujur, aku suka presentasimu sembilan tahun lalu, Fariz. Aku suka kau! Dan kau, dengan profesimu sekarang, adalah buah dari mimpi-mimpimu juga! Sama sepertiku sembilan tahun lalu!”
“Apa Charter Road selalu lengang seperti ini, Janice?”
“Aku nggak ngerti semua yang kau bicarakan, Fariz!”
“Aku mengikutimu, Janice.”
“Oh, ya?”
“Kamu cuma perlu tenang dan menikmati waktu yang kita lalui ini.”
“Tentu saja aku bisa tenang, Fariz. Aku bahkan jauh lebih tenang daripada Natasha.”
“What? apa hubungannya dengan Natasha?”
“Yah, kau tahu, kau lebih dekat dengan gadis Rusia itu kan selama di student camp?”
“Janice… itu nggak seperti dugaanmu…”
“Ya, memang seperti dugaanku. Kau duduk semeja dengannya selama kami marahan.”
“No! Maksudku, aku memang duduk semeja dengannya. Tapi itu karena dia yang menarikku.” “Lagipula, ayolah, Janice… itu kan sudah sembilan tahun yang lalu…”
“Entahlah, Fariz… dia kekanak-kanakan, sama sepertimu sekarang.”
“Dia cuma salah faham, Janice. Dia fikir kau membaca diary-nya.”
“Tapi aku nggak baca, Fariz! Buku itu jatuh dari mejanya, dan, timing yang buruk, kurasa, karena aku mengembalikan buku itu ke atas mejanya tepat saat ia kembali dari toilet.”
“Aku tahu, Janice.”
“Huff… hari terakhir di student camp itu benar-benar berat buatku, Fariz.”
“Ayo kita duduk, Janice... Aku nggak akan pernah menemukan jalanan setenang ini lagi begitu aku pulang ke Jakarta.”
“Fariz…”

 

***

“Kau tahu, Janice… setiap menit yang kuhabiskan sejak bertemu denganmu di café tadi adalah lembar-lembar halaman sebuah novelet.”
“Bukan juga, Fariz. Menurutku setiap menit kita di café tadi cuma ada kopi, kritik, dan kata-katamu dan juga pendirianmu yang kekanak-kanakan, konyol, dan...”
“Maafkan aku, Janice. Aku benar-benar nggak tahan untuk membawamu kembali ke masa sepuluh hari itu, sembilan tahun lalu. Karena cuma itulah satu-satunya kesamaan yang sama-sama kita miliki dan kita bawa sampai sekarang.”
“Maksudmu?”
“Kau tahu, Janice, setelah sembilan tahun, aku senang karena nggak banyak yang berubah darimu.”
“Apa ini tentang aku yang cerewet, atau… kacamataku?”
“Bukan.”
“Lalu?”
“Pakai tissue ini dulu.”
“Oh… itu… apa kau…”
“Ya, Janice. Tanganmu selalu berkeringat setiap kau gugup, atau saat kau kesal.”
“Apa kau…”
“Seperti kubilang, Janice. Aku mengikutimu. Apa kau bisa mengingat berapa lembar tissue yang kau pakai selama hari terakhirmu di student camp itu?”
“Fariz…”
“Sayang sekali, setelah sembilan tahun, malah aku yang pertama kali bertemu denganmu, bukan Tim.”
“Bagaimana kau tahu kalau aku nggak pernah ketemu dengan Tim selama kuliahku di UK?”
“Aku nggak tahu. Tapi aku tahu kalau kau berada pada intensitas pertemuan yang nol, atau sangat jarang dengan Tim.”
“Dari mana kau tahu?”
“Kau tahu berapa jam yang kuhabiskan bersama Tim selama di Tokyo, Janice?”
“Hah! Yah, semua orang di student camp juga tahu. Hampir seratus limapuluh jam, atau, entahlah, seumur hidup kalian, mungkin?”
“Haha… Dan siapa pun yang mengenal Tim, atau sering bertemu dengan Tim, pasti tahu bahwa ia terlalu jatuh cinta dengan latte macchiato.”
“Ah… itu sebabnya kau pesan…”
“Kau menolak menjawab pertanyaanku, Janice. Itu cara terakhir yang terfikir olehku. Dan kau tidak bereaksi sedikitpun waktu aku pesan latte macchiato.”
“Kau curang, Fariz. Kau juga menolak menjawab pertanyaanku.”
“Maaf?”
“Ya! Kau menolak menjawab dari mana kau tahu bahwa aku sering datang ke café itu!”
“Ah, itu… Hiasan dinding merlion… si barista memakai kalung merlion… semua itu terlalu sempurna untuk dikatakan sebuah kebetulan yang bisa ditemukan di sebuah café kecil, di sebuah kota yang kecil pula di West Midlands ini, Janice.” “Dan… Barista itu menyuguhkan espresso langsung dengan chocolate granules? Menurutku cuma itulah satu-satunya café di dunia ini yang bisa memuaskan selera paling aneh dari pelanggannya atas secangkir kopi.”
“Haha… Kau ini detektif atau apa, Fariz?”
“Aku cuma penulis yang gagal menjadi guru Bahasa Inggris, Janice.”
“Kau sudah jadi guru yang hebat dengan menjadi penulis, Fariz.”
“Tetap saja bukan seorang guru Bahasa Inggris, kan?”
“Kau mulai lagi Fariz!”
“Janice, aku berterima kasih atas latte macchiato yang pucat itu.”
“Kau sendiri yang pesan, bukan aku.”
“Bukan, Janice. Bukan itu.”
“Apa sih yang kau bicarakan?”
“Kata-katamu di café itu tentang hakikat seorang guru yang sebenarnya...” “Kau adalah orang pertama yang menyadarkanku dengan cara itu.”
“So...?”
“Yah, seperti yang kubilang. Kata-katamu, meskipun kau menganggap dirimu cerewet, bagiku tetap terdengar seperti presentasimu sembilan tahun lalu. Padat dan nggak banyak omong kosong.” “Seperti sebuah novelet yang merangkul ribuan adegan dalam satu cerita singkat.” “Seperti… latte macchiato yang pucat di café itu. Enam shot latte kurasa, takarannya, yang membuatmu lupa akan pekatnya satu shot espresso di dalamnya. Dan aku sangat suka latte macchiato macam itu.”
“Haha… Fariz… kau juga masih sama seperti sembilan tahun lalu, ternyata…”
“Oh ya?”
“Ya, misterius dan nggak banyak bicara. Tapi sekali bicara, kau buat siapa saja diam. Kau buat aku tersihir dengan kata-katamu. Kau buat Natasha tunduk dan…”
“Dan akhirnya dia meminta maaf padamu di farewell party?”
“Ah, ya… itu juga, kurasa…”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun