Maka semalam, ia terpaksa tidur di balik meja dagang lapak buah-buahan milik Pak Ronggeng. Lalat dan nyamuk pun mendadak melonjak kegirangan dan membuntuti Kunyit hingga ke setiap jengkal mimpinya.
Tapi senyum Kunyit tak pernah sirna karenanya. Di pagi buta ini, ia tetap berdiri di belakang kerumunan pelanggan Abah Haji. Memamerkan barisan gigi besar kekuningan itu untuk menyambut pekerjaan apapun yang ditawarkan padanya. Ada kalanya sekedar mengangkut sekardus tepung ketan ke atas becak. Ada pula kala lain memanggul beberapa karung beras ke penyeberangan sampan di tepi bengawan.
Dan di pagi buta ini, barisan gigi kekuningan itu jauh lebih berkilau daripada sebelumnya. Itu setelah Kunyit melihat kalender sobek Abah Haji menyapanya dengan angka sebelas besar berwarna hijau.
Hari Jumat adalah hari raya bagi Kunyit. Hari di mana semua pilu hatinya selama sepekan akan lenyap. Di mana pegal dan kram otot yang kadang menghinggapi pundak kekar itu akan sirna pada akhirnya. Di mana kawanan nyamuk takkan mampu lagi melonjak kegirangan di atas kuntum bunga tidurnya.
Maka, satu setengah ton gula itu tak sedikitpun menggerus lebarnya senyuman Kunyit. Meski kerja angkut itu baru rampung saat Haji Halim melantangkan adzan subuh di surau pasar. Begitu pula tusukan demi tusukan matahari kemarau tak kan sedikitpun merajami keringat Kunyit. Meski masih ada puluhan sepeda yang harus dijaganya di depan toko Abah Haji saat siang bertengger di puncak menara surau.
Asa Kunyit masih membuncah. Ia masih setia menunggu satu atau dua suara lagi yang akan memanggilnya dari tengah kerumunan pelanggan Abah Haji, sebelum tiba saatnya Mudin Marjuki berkhotbah di atas mimbar. Asa Kunyit masih membuncah. Karena lengannya masih siap memeras keringat. Karena badannya masih kuat menopang belikat. Dan karena ini adalah Hari Jumat.
***
Aji Gumbik adalah seorang Hansip desa. Kantor sekaligus rumah dinasnya adalah sebuah pos ronda kecil yang berhimpitan dengan tembok barat balai desa. Jika mentari Jumat hampir luruh di langit barat, maka tiba waktunya ia pulang kampung ke dusun dalam. Membawa gaji mingguannya untuk jatah beras dan susu anaknya yang baru berumur lima purnama.
Mata keruh Kunyit telah terpancang di wajah Aji Gumbik sejak belasan menit lalu. Jantungnya berjingkat dan menendang-nendang rongga dadanya. Senyum gigi kekuningan itu sesekali menyembul keluar dari balik tudung kegelisahan yang menyelubungi gurat-gurat harapannya.
Sore ini ia memakai baju terbaiknya. Kemeja lengan pendek hadiah lebaran dari Abah Haji dua tahun silam, yang ia titipkan di sebuah lemari tua kecil bekas tempat menyimpan semangka dan melon di lapak buah Pak Ronggeng.
Rambutnya disisir licin. Badannya wangi selepas mandi keramas di WC umum pasar. Tak tertinggal sedikitpun bau menyengat dari duabelas karung sampah pasar yang baru selesai diangkutnya menjelang ashar. Ia benar-benar ingin tampil sebaik mungkin di hari raya ini.
Ini sudah waktunya. Karena matahari telah hampir hilang di langit barat. Cakrawala pun telah merona merah, mengiringi ucapan selamat tinggal Kunyit pada nyamuk kebun dan lalat buah.
Sudah lebih dari sejenak ia bersila di teras pos ronda. Kedua mata keruhnya mengikuti ujung jempol kakinya yang melukis di atas debu. Sementara sang Hansip yang ditunggu-tunggu baru selesai berkemas di dalam pos kecil itu. Kunyit bangkit dan menyuguhkan barisan gigi kekuningan untuk menyambut Aji Gumbik.
“Eh, kamu sudah datang, Nyit!”
Aji Gumbik terlalu hafal dengan air muka Kunyit yang mendadak segar setiap bertemu dengannya. Ia menepuk pundak Kunyit kuat-kuat, menitipkan kunci pos kepadanya, lalu pamit dan pergi menunggang motor dua windunya memunggungi merahnya cakrawala.
Sepasang kunci telah tergenggam di tangan Kunyit. Pahatan logam kecil itu berkilauan membuai mata, melesatkan angan-angan Kunyit akan betapa hangatnya malam ini.