Laser? Cukup buat saya menulis lima huruf itu di Twitter. Kenapa kita kalah begitu telak di Bukit Jalil? Mental dan momentum. Itulah dua faktor kekalahan kita di leg pertama. Sekaligus dua faktor yang bisa membalikkan keadaan pada leg kedua di Jakarta. Bila Indonesia gagal memanfaatkan mental dan momentum pada 90 menit kedua, Malaysia-lah yang berpesta di Jakarta. Amit-amit. 2005. Paolo Maldini hampir pasti mengangkat trofi Liga Champions setelah unggul 3-0 di babak pertama. Nyatanya? Liverpool bangkit di babak kedua melalui tiga gol dari Gerrard, Smicer, dan Xabi Alonso hanya dalam waktu sepulu menit! The Reds akhirnya juara di Istambul via adu penalti. Gerrard tak hanya memperkecil skor menjadi 1-3, tetapi juga memberi momentum pada Liverpool bahwa mereka bisa mencetak gol dan bisa melakukannya lagi, lagi dan lagi. Dan terbukti. Sebaliknya bagi Milan, gol Gerrard memberi momentum keunggulan 3-0 di babak pertama ternyata belum aman, bisa dikejar, bahkan dibalik keadaannya. Dan itulah yang terjadi. Lebih dari satu dekade, final Liga Champions 1998/99. Lothar Matthaeus dkk sepertinya akan menang 1-0 di Camp Nou. Tapi keadaan berbalik saat injury time. Manchester United punya momentum saat Teddy Sheringham menyamakan kedudukan. Dan ketika United punya kesempatan tendangan penjuru, pemain-pemain Bayern tak kuasa menahan momentum United hingga terciptalah gol Ole Gunnar Solskjaer. Divisi Satu Inggris, 28 September 2010. Tuan rumah Leeds unggul 4-1 di babak pertama dari Preston. Bayangkan berapa gol lagi yang akan dicetak Leeds di babak kedua? Anda salah. Ketika Jon Parkin memperkecil ketertinggalan Preston menjadi 2-4, momentum berbalik hingga Preston akhirnya menang 6-4! Bagaimana dengan di Bukit Jalil? Babak pertama, tak ada yang istimewa dari permainan Malaysia. Justru mental mereka sedang diuji dengan ekspektasi tinggi publik tuan rumah menghadapi Indonesia yang lebih favorit. Mohd Safee dkk kerap salah umpan. Beruntung bagi Malaysia, Indonesia kurang bermain dengan mental juara. Ini adalah final, bukan penyisihan grup atau semifinal. Satu kesalahan akan menghukum keseluruhan. Indonesia punya momentum untuk menguasai pertandingan saat peluang Bustomi tipis di kiri gawang Malaysia. Namun Firman Utina dkk lebih bermain safe, dan banyak melakukan umpan panjang. Dalam teori sepakbola mana pun, umpang panjang tak seakurat umpan pendek. Di babak kedua, laser yang diabaikan Markus dkk menjadi puncaknya. Timnas sempat protes, menepi, dan pertandingan pun terhenti. Padahal saat itu dalam posisi bertahan. Otomatis, inilah momentum sekaligus titik balik pertandingan ini. Malaysia mencetak gol pertama yang disusul gol kedua berselisih hanya delapan menit. Unggul dua gol pada sistem home-away, apalagi final dan main di depan publik sendiri, memberi kepercayaan luar biasa bagi Malaysia. Sebaliknya bagi Indonesia, momentum pertandingan yang mereka dapatkan di babak pertama sudah hilang, dan sangat sulit bangkit saat posisi seperti ini. Terbukti, Malaysia mencetak gol ketiga. Game over. Untuk leg pertama. Ketika Alfred Riedl memasukkan Arif Suyono, Irfan Bachdim, dan disusul Bambang Pamungkas, Indonesia sedikit mendapatkan lagi momentum untuk minimal mencetak satu gol away. Tapi mental pemain-pemain Malaysia sudah tak terbendung berkat momentum yang mereka dapatkan. Andai Bambang Pamungkas bisa mencetak satu gol saja di sekitar menit 80an, keadaan bisa berubah. Entah itu 1-3 atau 2-3. Siapa tahu? Bagaimana dengan leg kedua? Leg pertama sudah selesai. Skor 0-3 tak akan bisa berubah. Pertnyaannya sekarang adalah bagaimana timnas Indonesia mendapatkan lagi momentum yang hilang di Bukit Jalil? Cetak gol di menit awal. Inilah kuncinya. Taruhlan Christian Gonzales dkk mencetak gol di bawah menit ke sepuluh di GBK, maka jalannya pertandingan akan berubah. Momentum di tangan Indonesia. Malaysia akan berpikir bagaimana mempertahankan keunggulan dua gol, sementara pertandingan bersisa 80 menit. Dalam masa itu, banyak waktu bagi Indonesia untuk mencetak gol kedua, ketiga, bahkan keempat atau kelima saat mental pemain-pemain Malaysia telah runtuh. Sebaliknya, andai Malaysia mencuri gol lebih dulu, game over. Selesai. Malaysia berpesta di Jakarta. Banyak faktor yang mempengaruhi pertandingan final. Catatan ini hanya menyorot sisi mental dan momentum. Momentum bukan faktor teknis maupun non teknis. Momentum bisa muncul, bisa juga tidak. Kalaupun muncul kita tak akan tahu menit ke berapa. Liverpool mendapatkan momentumnya di menit 50. Solskjaer mendapatkan momentumnya di injury time. Dan Malaysia, mendapatkan momentumnya saat pemain-pemain timnas menepi dan menghentikan pertandingan untuk memprotes laser. Semoga Indonesia memberi sesuatu kepada publik sepakbola tanah air pada leg kedua nanti. Logika sederhana, bila Malaysia mampu mencetak tiga gol pada 90 menit pertama, kenapa Indonesia tidak bisa? Indonesia butuh empat gol, ada 22.5 menit waktu normal untuk menang 4-0. Masih ada peluang (matematis). Jangan menyerah. Garudaku! *) Penulis adalah mantan wartawan media online nasional, aktif berkicau di Twitter @zulfikaralex dan menulis blog sepakbola di catatanbola.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H