Tulisan singkat ini adalah tulisan hati nurani seorang mahasiswa yang sedang mencari jati diri dan kebenaran bangsanya. Bereaksi pada kekacauan berpikir para elit politik kita sejak jaman Revolusi Kemerdekaan sampai jaman Reformasi sekarang dalam berbagai bidang, ketatanegaraan, pembangunan, urus-mengurus keuangan rakyat, menjaga kedaulatan (baik ekonomi maupun militer).
Orang-orang yang kotor kian terang-benderang karirnya. Istri(-istri) dan anak-anaknya malah membusungkan dada dalam kebanggaan yang berisi kebohongan. Bapak koruptor, anak tukang suap, cucu broker proyek menjadi profesi turun-temurun yang seakan-akan dibanggakan dan dimuliakan.
Hal ini membuat banyak orang gusar (termasuk saya), atau galau istilah jaman sekarangnya sih. Merasa sangat khawatir jika kita melihat ke masa depan bila hal ini tidak segera diberikan obatnya. Apakah kelak anak cucu kita harus hidup di masyarakat seperti ini?
Ini adalah kenyataan, terimalah bahwa bangsa kita dibawah pemerintahan orde lama, orde baru, reformasi sampai saat ini, adalah bangsa yang tidak berdaulat kepada rakyat, daulat kepada hukum dan daulat ekonomi.
Antek-antek yang terlibat dalam rezim-rezim diatas ternyata hanya akademisi yang birokratis bukan intelektual. Kecerdasan intelektual mereka lebih dari jongkok bahkan tiarap ya. Dan dalam diam mereka bangga dengan kehinaan martabat yang mereka miliki.
Merekalah yang menciptakan kekacauan struktural hidup rakyat yang tiada hentinya bahkan bisa-bisa tujuh turunan pun tak akan selesai permasalahan yang telah mereka goreskan dalam sejarah bangsa ini.
Memang tak banyak yang bisa diharapkan dari pemerintah dan kaum birokrat. Tetapi kita harus ingat, negara ini bukan milik mereka. Mereka hanya benalu, boneka, hambatan atau apalah itu sebutannya bagi negara ini. Ingat! Negara ini milik rakyat. Janganlah menjadi intelektual yang akhirnya terjerumus ke pusaran birokrat. Jika bukan kita yang mulai merubah negara ini, siapa lagi? Jika bukan sekarang, kapan lagi? Masih ada waktu bagi kita membuat sebuah perubahan yang akan merubah haluan kapal yang bernama 'Indonesia' ini ke arah yang lebih baik lagi.
(Zulfi Ikhsan Putraji)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H