Saya berterimakasih kepada rekan saya Ardi Wilda yang telah memberi kesempatan untuk menulis essay tentang Jose Mourinho. Sosok pelatih sepakbola berprestasi ini memang hidup sebagai Angel sekaligus Demon, seperti dalam novel karya Dan Brown. Segenap prestasinya, bagai seorang midas, membuktikan bahwa dia seorang Angel. Namun, sikap pribadinya yang sangat gemar membuat kontroversi dan konflik interpersonal tidak lain membuat dirinya pun terlihat bagai demon. Dari sosok Mourinho saya mempelajari sebuah karakter manusia yang saya beri nama Mouthrinho-isme (paham mourinho). Istilah baru memang. Namun, tentu akan saya definisikan kembali maksud saya ini. Bagi saya karakter Mouthrinho adalah karakter yang menyebalkan. Ia adalah tipe orang yang selalu memilih jalan “kekerasan” verbal, ketimbang harus bermanis lisan. Sindiran, komentar pedas hingga hinaan selalu keluar dari lisannya. Bisa jadi, komentar yang sopan dan menyenangkan sudah hilang dari kamus pribadinya. Model orang seperti ini, dalam hidupnya (hanya) akan dipuja saat memiliki prestasi hebat. Sebaliknya, saat tidak memiliki prestasi, ia akan dimusuhi seisi dunia karena tingkah laku buruknya. Artinya, orang lain hanya menghargai prestasinya, bukan pribadinya. Orang lain sebenarnya sudah muak dengan tingkah lakunya, namun masih menghormati prestasinya. Apakah karakter seperti ini dibenarkan? Ada dua masalah mendasar. Pertama, -maaf- bila harus memakai analogi Mourinho. Karena saya rasa tidak ada tokoh lain yang namanya bisa digunakan selain dia untuk menjelaskan karakter unik ini. Kedua, saya memang hiperbol dalam menjelaskan karakter ini. Tapi tidak masalah, saya rasa pembaca paham batasan substansi karakter yang dimaksudkan. Yang saya garis bawahi adalah “keharusan” menjadi pribadi yang bersahabat (friendly). Persahabatan dan pengakuan dari masyarakat yang sejati berasal dari pengakuan akan kepribadian kita, bukan atas prestasi yang kita miliki. Saya menemukan banyak kasus, semisal di komunitas alumni sekolah dan juga organisasi. Ada alumni-alumni yang begitu hebat prestasinya dalam karir. Sayang, pencapaian karir tersebut tidak dibarengi dengan kerendahan hati di depan kawan-kawannya. Dikenal hebat di depan publik, namun dihindari oleh kawan-kawan terdekatnya. Sangat disayangkan tentunya… Dulu, Rasulullah pun punya prestasi monumental menjadi seorang utusan Allah di umur 40 tahun. Tapi, apakah sebatas itu saja? Tidak! Ternyata, prestasi tersebut akan jadi sia-sia saja bila pribadi beliau tidak istimewa. Jauh sebelum dikukuhkan sebagai rasul, beliau diakui sebagai pribadi yang istimewa, Al Amin. Dia diterima oleh siapa pun juga di masanya. Abu Jahal pun pada suatu ketika mengatakan bahwa ia menerima Muhammad sebagai seorang pribadi, namun tidak untuk ajaran yang dibawanya. Allah pun paham bahwa prestasi saja tidak cukup untuk mengimpresi manusia. Jauh lebih mendasar adalah pribadi yang baik. Pribadi yang membuat orang lain nyaman bersama kita. Karena itulah persahabatan yang sejati. Gambar diambil dari sini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H