Kemenangan SBY untuk kedua kalinya tahun ini bisa jadi merupakan manifestasi harapan sebagian besar rakyat Indonesia. Setidaknya itulah tafsir singkat dari tingginya elektabilitas SBY yang mencapai 60%. Kekuatan elektabilitas ini juga disempurnakan dengan koalisi raksasa 24 partai politik (parpol) yang dikomandani Partai Demokrat. Konsekwensinya, pemerintahan SBY akan sangat kuat, baik secara legitimasi di hadapan rakyat maupun di parlemen.
Kuatnya pemerintahan tentu diharapkan berbanding lurus dengan kemajuan bangsa dan negara ini lima tahun mendatang. Apalagi dalam beberapa forum pun Presiden SBY mengisyaratkan akan membentuk kabinet professional (zaken kabinet), yaitu kabinet yang akan dikuasai oleh tokoh-tokoh kalangan professional. Bisa jadi, kabinet ini merupakan antitesis dari model kabinet terdahulu. Karena dalam periode pertamanya sebagai Presiden (2004-2009), model kabinet yang dibentuk lebih condong ke arah kabinet parlementer dalam wujud representasi tiap parpol pendukungnya dalam kementrian.
Akan tetapi dengan melihat realita koalisi yang begitu gemuk. Susah untuk meyakini kabinet professional ini akan terbentuk. Pemilihan Boediono menjadi Wakil Presiden misalnya, belum-belum sudah menimbulkan riak konflik antar parpol pendukungnya. Wajar bila ini terjadi mengingat tidak mungkin ada makan siang gratis di dunia politik. Tiap parpol pendukung SBY, tentu tidak ingin kerja kerasnya sia-sia tanpa memiliki kursi strategis pemerintahan.
Dan terbukti sudah, keberanian SBY untuk bereksperimen membentuk kabinet professional berhenti sampai Boediono. Selanjutnya, wacana kabinet professional tidak lebih dari sekedar pepesan kosong setelah melihat formasi kabinet yang dilantik 21 Oktober lalu.
Perbandingan menteri dari kalangan parpol dan professional misalnya, hampir mencapai 55% banding 45%. Ini belum termasuk 2/3 anggota kabinet KIB Jilid I yang mendapat vonis tidak dilanjutkan (Ikrar Nusa Bhakti, Sindo 27 Oktober 2009). Posisi strategis di tiga kementrian koordinator pun disapu rata oleh kader parpol dan tim sukses. Bahkan, secara lebih ekstrim lagi, posisi Menteri Agama yang dimiliki oleh Nahdhatul ‘Ulama (NU) secara turun-temurun juga direbut oleh kader parpol.
Bukan berarti saya mendikotomikan antara unsur professional dan utusan parpol. Dalam arti memvonis bahwa menteri yang berasal dari parpol tidak kompeten. Akan tetapi, posisi menteri adalah posisi yang begitu krusial dalam pemerintahan. Ia adalah "petugas lapangan" bagi kebijakan presiden. Bila Presiden merumuskan hal-hal yang normatif, maka menteri akan bekerja secara aplikatif. Sehingga prasyarat menteri harus kompeten dan ahli dalam bidangnya tentu menjadi kemutlakan. Memberi waktu seorang menteri untuk mempelajari bidangnya sama saja dengan membuang-buang waktu.
Kini ada waktu 100 hari bagi para menteri untuk menunjukkan kinerja yang excellent atau menerima resiko segera direshuffle. Yang itupun hanya mungkin terjadi, bila SBY mengambil resiko mengecewakan parpol pendukungnya. Semoga berhasil Bapak dan Ibu Menteri!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H