- Pemanfaatan Murtahin Atas Marhun
Assalamu'alaikum. Wr. Wb.
"Kemaslahatan merupakan salah satu tujuan dari syariah islam." Â (Muhammad Firdaus NH,dkk., 2005:12). Sehingga, islam menganjurkan kepada umat-umatnya untuk tolong-menolong. Tolong-menolong bisa berupa bentuk yang berbeda-beda, baik berupa pemberian tanpa adanya timbal balik (pengembalian), seperti shadaqah, zakat, dan infak. Maupun berwujud pinjaman (hutang) yang akhirnya wajib mengembalikan kepada yang memberi pinjaman. Membahas tentang pinjam-meminjam, dalam islam diperbolehkan baik melalui perorangan (individu) atau pun lembaga keuangan seperti, asuransi, bank, dan lain-lain. Dengan syarat tidak boleh meminta lebih dari pokok pinjaman yang sudah disepakati karena hal tersebut termasuk riba. Salah satu jenis bermuamalah yang diperbolehkan oleh Rasulullah Saw. adalah gadai.
Dalam gadai terdapat pemanfaatan barang gadai (marhun), sebagaimana hadis  Nabi Muhammad Saw.
Artinya: "Dari Abu Hurairah RA berkata, Rasul SAW bersabda: binatang yang digadaikan boleh ditunggangi dengan diberikan biaya jika ia digadaikan dan susu binatang boleh diminum dengan diberikan biaya jika digadaikan. Orang yang mengendarai binatang itu dan meminum susunya diharuskan membayarkan biayanya" (Hadis Riwayat Bukhari). "
Penjelasan dari hadis tersebut adalah:
Binatang yang digadai boleh ditunggangi dengan diberikan biaya, maksudnya diperboleh bagi yang menerima gadai (murtahin) untuk menunggangi punggungnya dengan berkewajiban memberikan biaya dalam artian makanan kepada hewan gadai tersebut.
Jika ia digadaikan, maksudnya jika binatang tersebut yang ditunggangi disimpan atau berada pada orang yang menerima gadai (murtahin).
Dan dari susu binatang boleh diminum dengan memberikan biaya, maksudnya diperbolehkan bagi yang menerima gadai hewan tersebut minum dari susu binatang yang digadai dengan mempertimbangkan kadar ukuran biaya (makanan) yang dia berikan kepada binatang tersebut.
Jika digadaikan, maksudnya jika binatang yang dapat diperah susunya tersebut disimpan atau berada pada orang yang menerima gadai (murtahin).
Orang yang mengendarai binatang itu dan meminum susunya diharuskan membayarkan biayanya, maksudnya diwajibkan bagi orang yang mengambil manfaat dengan mengendarai (menunggangi) atau meminum susu binatang yang digadai untuk membayar berupa pemberian makanan dan minuman kepada binatang tersebut selama disimpan atau berada padanya (murtahin) sebagai pengganti pemanfaatan benda gadai tersebut.
Namun dalam memanfaatkan barang yang digadaikan oleh rahin (penggadai) kepada murtahin (penerima gadai), para ulama berbeda pemikiran. Jumhur Fuqaha berpendapat bahwa murtahin tidak memiliki hak untuk mengambil manfaat dari barang gadai (marhun) tersebut, meskipun rahin mengizinkan, karena hal tersebut termasuk kepada pinjaman yang menarik manfaat, karena semua pinjaman yang menarik manfaat termasuk riba. Sebagaimana yang telah disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW:
Dari Ibrahim, ia mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Setiap hutang (Pinjaman) yang menghasilkan manfaat adalah riba." (Hadis riwayat Ibnu Abi Syaibah)
Ada pula yang berpendapat bahwa penerima gadai (murtahin) tidak boleh memanfaatkan benda yang digadai (marhun), kecuali jika penggadai (rahin) tidak berkenan membiayai marhun. Dalam hal ini murtahin diperbolehkan mengambil manfaat marhun hanya sekedar untuk mengganti pembiayaan atau pemeliharaan yang sudah dikeluarkan oleh murtahin selama marhun berada padanya. Lalu siapa yang lebih berhak memanfaatkan barang gadai, rahin atau murtahin ? untuk lebih jelasnya baca penjelasan berikut.
Beberapa Ulama yang berbeda pendapat tentang boleh dan tidaknya memanfaatkan barang gadai (marhun), yaitu :
1). Pendapat Ulama Syafi'iyah
Ulama Syafi'iyah berpendapat bahwa yang memiliki hak dalam pemanfaatan barang gadai (marhun) adalah rahin, meskipun marhun tersebut berada di bawah kekuasaan murtahin. Hal ini berdasarkan hadis Rasululllah saw.yang artinya berikut ini :
Dari Abi Hurairah bahwa Nabi Saw. Bersabda: "Gadai itu tidak menutup yang punya dari manfaat  barang itu, faedahnya kepunyaan dia, dan dia wajib mempertanggung  jawabkan segalanya". (Hadits Riwayat Al-Hakim dan Daruqutnya).
"Berdasarkan hadis tersebut, menurut ulama Syafi'iyah bahwa barang gadai (marhun) hanya sebagai jaminan (kepercayaan) atas penerima gadai (murtahin), sedangkan kepemilikan tetap ada pada rahin. Dengan demikian, manfaat barang yang digadaikan adalah milik rahin." (Muhammad Firdaus NH,dkk., 2005:33). Jika tidak mengakibatkan marhun tersebut berkurang (tetap) tidak perlu meminta izin pada murtahin, seperti menempati dan mengendarainya. Namun, jika mengakibatkan marhun tersebut berkurang, seperti pengelolaan kebun dan sawah, rahin harus meminta izin terlebih dahulu kepada murtahin.
2). Pendapat Ulama Malikiyah
"Murtahin boleh memanfaatkan barang gadai atas izin pemilik barang gadai (rahin) atau disyaratkan waktu akad, dan marhun tersebut berupa barang yang dapat diperjual belikan serta ditentukan batasan waktu penggadaian tersebut secara jelas." (H. Rachmat syafe'i, 2001:174). Jika tidak maka menjadi batal.
Pendapat Malikiyah ini berdasar kepada hadis Nabi Muhammad Saw. yaitu:
Dari Abu Hurairah RA. berkata bahwasannya Rasulullah Saw. bersabda: Â "barang jaminan itu dapat ditunggangi dan diperah"
Dari Umar bahwasannya Rasulullah Saw. bersabda: "hewan seseorang tidak boleh diperah tanpa seizin pemiliknya" (Hadis Riwayat Bukhari)
3). Â Pendapat Ulama Hanabilah
Ulama Hanabilah membagi marhun menjadi dua jenis yaitu hewan dan bukan hewan. Apabila barang gadai berupa hewan atau kendaraan murtahin boleh memanfaatkannya mengendarai atau menungganginya dan memerah susunya hanya untuk mengganti biaya pemeliharaannya. Tetapi apabila barang gadai berupa kebun, rumah, tanah, sawah dan sebagainya maka tidak boleh mengambil manfaatnya kecuali ada izin dari pemilik barang gadai (rahin).
4). Pendapat Hanafiyah
Ulama Hanafiyah berpendapat, tidak ada perbedaan antara pemanfaatan barang gadai yang mengakibatkan kurangnya harga atau tidak, alasannya adalah hadis Nabi Muhammad Saw.
Dari Abu Shalih dari Abu Hurairah sesungguhnya Nabi Saw. bersabda: "Barang jaminan utang dapat ditunggangi dan diperah, serta atas dasar menunggangi dan memerah susunya, wajib menafkahi." (Hadis Riwayat Bukhari).
Menurut ulama Hanafiyah, disesuaikan berdasarkan manfaat dari marhun yang akan dijadikan sebagai jaminan dan kepercayaan kepada murtahin, maka marhun berada pada murtahin. Apabila marhun tidak dimanfaatkan oleh murtahin, berarti meniadakan manfaat barang tersebut, padahal barang tersebut memerlukan biaya dalam pemeliharaan. Hal tersebut dapat mendatangkan mudharat bagi kedua belah pihak, terutama bagi pemberi gadai (rahin).
Dari keempat pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya memanfaatkan barang gadai (marhun) tidak diperbolehkan karena memanfaatkan barang gadai tidak lepas dari qiradh dan setiap qiradh yang mengalir manfaat adalah riba. Kecuali jika barang yang digadaikan itu berupa hewan ternak yang bisa diambil manfaatnya (susunya atau ditunggangi) dan rahin memberi izin untuk memanfaatkan barang tersebut maka penerima gadai boleh memanfaatkannya sebagai ganti atas biaya pemeliharaan hewan yang dijadikan marhun tersebut.
"Pengambilan manfaat pada benda-benda gadai di atas ditekankan kepada biaya atau tenaga untuk pemeliharaan, sehingga bagi yang memegang barang gadai seperti yang di atas punya kewajiban tambahan." (H. Abdul Rahman Ghazaly,dkk., 2010:61). Pemegang barang gadai berkewajiban memberikan makanan dan minuman bila barang gadaian itu adalah hewan. Harus membelikan bensin atau solar bila barang gadai berupa kendaraan. Jadi, yang diperbolehkan adalah upaya dalam pemeliharaan terhadap barang gadai yang ada pada murtahin, sehingga sebagai timbal baliknya murtahin boleh memanfaatkan benda gadai tersebut (marhun).
Terima Kasih, dan selamat membaca.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!