Malang nian nasib sejumlah warga Soppeng ini. Rumah mereka mengalami kebakaran hebat hingga tersisa puing-puing belaka. Goncangan akibat kehilangan harta dalam jumlah besar di waktu tak terduga dan dalam waktu sekejap, meliputi mereka. Pada akhirnya, pasrah pada keadaan sambil menanti bantuan para dermawan jadi satu-satunya harapan. Dan Jika beruntung, bantuan sosial dari negara akan diperoleh tanpa pengurusan yang rumit.
Adalah Ahmad, Nasire, Feriyanto, Arsyad dan H.Huga, merupakan 5 orang korban kebakaran rumah di Penrie-Atakka Desa Barang Kecamatan Liliriaja. Mereka tak hanya menderita kehilangan rumah, 1 unit mobil beserta 4 unit motor kendaraan milik mereka masing-masing ikut lenyap dilalap si jago merah (Bugissulsel.com, 13/10). Meski tak ada korban jiwa, kerugian yang diderita ditaksir ratusan juta rupiah.
Belum padam api di Penrie, si jago merah juga mengamuk di Palero Desa Tetewatu Kecamatan Lilirilau. Dua unit rumah menjadi korban di lokasi ini (Kabartujuhsatu.news, 15/10). Kondisi pemiliknya tak lebih baik dari korban sebelumnya. Rumah yang terbakar hangus dalam waktu singkat.
Wakil Rakyat Belagu
Bantuan negara berupa penggantian rumah, adalah hal yang paling  diharapkan. Namun menilik ke riwayat korban kebakaran sebelumnya, asa tersebut bak jauh panggang dari api. Jejak bantuan yang disalurkan hanya berupa makanan seperti beras dan lainnya. Adapun material bahan bangun rumah  yang lebih pokok, disalurkan justru berasal dari komunitas atau lembaga non pemerintah.
Berbeda dengan kondisi rakyat khususnya para korban kebakaran yang hanya pasrah menerima segala bantuan yang diberikan, wakil rakyat justru belagu. Anggota DPR-RI yang baru saja dilantik pada September lalu bersepakat untuk tidak menempati Rumah Dinas mereka dan menggantinya dengan tunjangan berupa uang tunai saja. Tak tanggung-tanggung, jumlahnya diperkirakan mencapai Rp30 hingga Rp70 juta per orang per bulan.
Keputusan ini tentu kontras di tengah kondisi ekonomi yang sulit dan masih tingginya jumlah rakyat yang tidak memiliki rumah. Berdasarkan data Kementrian PUPR tahun 2023, terdapat 9,9 hingga 12,7 juta rumah tangga yang membutuhkan hunian. Angka ini disinyalir akan terus meningkat. Sementara itu Badan Pusat Statistik, di tahun yang sama, merilis data 36,85% atau sepertiga rumah tangga menempati rumah tidak layak huni.
Maka tak salah jika disebut bahwa kebijakan yang diambil wakil rakyat adalah upaya yang mengutamakan kenyamanan, kemewahan namun dengan prestasi yang nihil. Inilah yang semakin memberikan jarak yang jauh antara kebutuhan rakyat dan fasilitas yang diperoleh wakilnya. Padahal jika anggaran tersebut dialokasikan sebagai program perumahan rakyat, tentu lebih dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Realita Pahit Demokrasi
Sebenarnya rakyat sudah kenyang bahkan sudah eneg melihat wakilnya belagu seperti ini. Belum bekerja sudah mempersoalkan fasilitas, ditambah mereka mendapatkan berbagai fasilitas mewah dan tunjangan yang melimpah. Namun rakyat tak dapat berbuat banyak lantaran seperti itulah sistemnya. Rakyat didatangi untuk diminta suaranya di masa kampanye pemilu namun setelah menjabat seketika rakyat dilupakan, habis manis sepah dibuang.
Belum lagi kenyataan bahwa para politisi telah menggelontorkan dana besar sebagai mahar yang mereka keluarkan untuk menjabat. Maka wajar jika mereka ramai-ramai mendahulukan keuntungan bagi mereka dibandingkan berpihak pada penderitaan rakyat. Pintu korupsi pun tak jarang jadi jalan ninja mereka untuk mengembalikan modal agar bisa kembali mengikuti kontestasi pemilu berikutnya.