- TEORI KONFIK
Dalam sosiologi, konflik dapat dilihat dari berbagai perspektif teori. Konflik dapat menjadi dorongan untuk revolusi atau dasar untuk suatu pemikiran. Teori konflik menyatakan bahwa kelompok-kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat terus-menerus bersaing untuk mendapatkan sumber daya atau kekuasaan yang pada akhirnya akan ada kelompok yang mendominasi suatu kelompok yang tidak berdaya.
Teori konflik mengeksplorasi perubahan kekuasaan yang menciptakan ketidaksetaraan sosial dan ekonomi dalam konteks yang berbeda. Bermula dari kemiskinan dan konflik sosial akan berakhir dengan suatu revolusi dan perang. Karl Marx pertama kali menyampaikan teori ini pada abad ke-19 dengan alasan bahwa persaingan atas sumber daya yang terbatas melekat dalam masyarkat. Marx menggunakan teori tersebut untuk menjelaskan eksploitasi kelas pekerja dalam masyarakat kapitalis. Dalam pandangannya, ada dua kelas yaitu borjuis, yang berkuasa, dan proletariat, yang tertindas (kelas pekerja). Karl Marx menggunakan teori konflik untuk menjelaskan perebutan kelas dan kekuasaan dalam berbagai bidang seperti jenis kelamin, ras, kelompok politik, agama, dan profesi.
Kemudian ada teori konflik menurut Lewis Coser, yang beranggapan bahwa konflik yang terjadi itu memiliki fungsi sosial dan manfaat. Tidak bisa katakan bahwa konflik selalu membawa perpecahan dan bersifat merusak, konflik kadang membawa kelestarian kelompok dan memperkuat struktur serta identitas kelompok yang berkonflik. Integritas yang semakin tinggi dari antar kelompok yang berkonflik dapat memperkuat batas kelompok-kelompok lainnya di lingkungan itu.
Selanjutnya teori konflik menurut Ralf Dahrendorf yang berkembang atas reaksi teori struktural fungsional. Teori struktural fungsional kurang memerhatikan konflik di dalamnya karena menurut Dahrendorf proses konflik sosial adalah sebuah kunci dari struktur sosial. Ia juga mengkritik teori Karl Marx dan sebagian menerima juga teori Karl Marx mengenai pertentangan kelas sosial.
- ANALISIS TEORI KONFLIK DALAM KONFLIK AGAMA DI AMBON (1999)
Pertumpahan darah di Ambon pada tahun 1999 oleh kelompok agama Kristen dengan agama Islam yang berhasil memakan banyak korban. Sejak zaman kolonialisme belanda aristokrasi di Ambon memanglah beragama Kristen, kemudian setelah kemerdekaan NKRI pun mereka juga yang berkuasa baik bidang ekonominya maupun pemerintahan atau politiknya. Tetapi seiring berjalannya waktu, mayoritas Kristen Ambon merasa bahwa minoritas Islam baik dari Ambon itu sendiri maupun dari rantauan Pulau Jawa semakin menaikan status quonya (kekuasaannya). Sehingga mereka merasa kalau minorias Islam itu sudah mengancam pribumi Ambon dan pada akhirnya terjadilah konflik Ambon ini.
Hal ini dapat dianalisis menggunakan teori konflik oleh Ralf Dahrendolf di mana ketika minoritas Islam ini berusaha merebut dan berkuasa di Ambon untuk melakukan perubahan. Sedangkan mayoritas agama Kristen tetap mempertahankan status quonya di Ambon karena merasa terjajah oleh minarotas Islam dan pendatang. Perjuangan kelas inilah seperti teori konflik yang dikemukakan oleh Ralf Dahrendorf.
Kemudian dalam analisis teori konflik menurut Lewis Coser dapat dilihat dari pasca terjadinya konflik ambon ini. Setelah konflik akhirnya masing-masing dari mereka berdamai dan sudah tidak ada lagi baku hantam. Lambat laun mereka sudah bisa menunjukkan kesolidaritasannya dan toleransi masing-masing kelompok agama, seperti saat perayaan tiap-tiap hari raya dari mereka saling memberi dalam hal materi, bantuan, maupun ucapan selamat dari keduanya. Ini menunjukkan teori konflik menurut Lewis Coser di mana konflik tidak selamanya buruk dan negatif. Konflik membawa fungsi positif.
Referensi:
Lindawaty, Debora Sanur. 2011. “Konflik Ambon: Kajian Terhadap Beberapa Akar Permasalahan Dan Solusinya.” Politica 2(2):271–97.
Yunus, Firdaus M., Fakultas Ushuluddin, Univesitas Islam, and Negeri Uin. 2014. “Substantia, Volume 16 Nomor 2, Okotber 2014.” Substantia 16:217–28.