Ferdi memaki dalam hati; semua kata-kata yang tak layak digunakan untuk para agen perubahan di kehidupan bermasyarakat ia lontarkan semua, meski dalam hati, pula semua jenis anggota kebun binatang tidak lupa ia absen, meski juga di dalam hati saja.
Ia takut "itunya" hilang, jadi mau tidak mau ia hanya tersenyum saja.
Menjadi mahasiswa KKN di pelosok Kalimantan, ternyata tidak seperti yang ia bayangkan--harapkan. Pertama ia berharap bisa mengalami berbagai kejadian mistis, toh bukankah Kalimantan itu seakan bersinonim dengan mistis. Namun, ia sama sekali belum menemuinya. Kelebatan kuyang di atas langit saja tak terlihat, apalagi keberadaan kota gaib Saranjana. Dan kalau seperti ini, kesempatannya untuk diundang oleh podcast horor di Youtube jadi nihil.
Kedua ia sama sekali belum mengalami cinlok. Bayangkan! Bagaimana mungkin ada kegiatan KKN tanpa cinlok? Perempuan yang sempat ia taksir, ternyata sudah duluan digebet Hasan yang bertindak sebagai ketua kelompok mereka.
Toh, bukankah sudah jadi rahasia umum bahwa KKN itu berlandaskan pada dua buah unsur yaitu horor dan cinlok.
Dan Ferdi dengan segala ketidakberuntungannya sudah gagal untuk mengalami dua unsur terpenting tersebut. Tak ada kisah horor dan tak ada kisah cinta. Yang artinya tidak akan ada cerita yang bisa dikisahkan kepada generasi agen perubahan berikutnya.
Lalu, langit dan matahari, serta awan-awan yang entah di mana itu, kini menyaksikan calon pilar Indonesia emas itu sedang berpanas-panas di tengah sawah, bergaya seolah-olah sedang menanam padi, sementara kawan-kawannya yang lain sedang berteduh di pondok kecil sembari memandanginya dengan kamera hape di kejauhan atau bahasa ilmiahnya mendokumentasikan.
Ferdi yang memakai setelan lengkap petani itu, sibuk bergaya mengikuti arahan fotografer yang merangkap Pambakal alias kepala desa tempat mereka KKN. Jujur saja, ia benci hal itu, apalagi ia harus memakai pupur dingin alias bedak dingin yang mendempul sempurna wajahnya.
Ferdi merasa terjebak.
Tugas mahasiswa KKN itu kan adalah berkontribusi terhadap masyarakat, jadi alih-alih mencat gerbang desa atau sekadar jadi guru pengganti. Kelompok mereka yang dipimpin oleh Hasan itu ingin melakukan gebrakan. Mereka ingin membantu UMKM di desa itu jadi lebih maju. Dan produk yang terpilih itu adalah pupur dingin alias bedak dingin.
Setelah rapat seperlunya di basecamp, tibalah saatnya mereka memilih anggota yang akan menemani Hasan ke rumah pembakal--yang berwajah seram dan memiliki codet melintang di pipi serta kumis tebal itu--untuk meminta izin.