Entah kenapa setiap kali pergi ke suatu tempat dan memutuskan untuk naik transportasi umum seperti Transbakula atau urang Banjar lebih suka menyebutnya Bis Tayo. Saya merasa menjelma menjadi warga yang berakhlak mulia dan memiliki budi pekerti yang tinggi, karena lebih memilih untuk menggunakan transportasi umum.
Lucu memang, entah kenapa perihal seperti naik bis saja bisa membuat saya menjadi merasa sombong---aneh sekali ya? Mungkin karena saya sering melihat adegan naik transportasi umum di luar negeri---yang kebetulan jauh lebih maju dari negara kita Indonesia dan Kalimantan Selatan tempat saya tinggal.
Di negara yang lebih maju dan memiliki kualitas pendidikan yang lebih baik, transportasi umum selalu menjadi pilihan utama warga. Hal itulah yang membuat saya yang merasa cukup terdidik ini dan memiliki harapan tinggi agar Indonesia dan Kalimantan Selatan agar terus maju memutuskan untuk naik Bis Tayo.Â
Jika kata-kata adalah doa, semoga tindakan saya ini pun dikategorikan sebuah doa. Memanfaatkan transportasi umum agar Indonesia dan Kalsel menjadi semakin maju.
Aamiin.
Menuju Pal 6
Pagi kamis yang hujan itu, saya tergopoh-gopoh menyeberangi zebra cross menuju halte bis Tayo. Hari itu saya memiliki janji yang harus ditunaikan kepada seorang kawan. Pokoknya sebelum jam 10 pagi saya harus berada di tempat, yaitu kampus UMB(Universitas Muhammadiyah Banjarmasin) di Handil Bakti yang sudah termasuk bagian dari Batola(Barito Kuala).
Secara hitung-hitungan kasar, saya memperkirakan akan tiba dalam waktu satu jam menuju Handil Bakti dari Gambut dengan menggunakan bis. Dengan jadwal keberangkatan pukul tujuh pagi maka pastilah jam delapan saya sudah tiba di tempat.
Hanya sebentar saja saya berdiri di halte untuk menunggu kedatangan bis, karena bis tayo ini memiliki keunggulan yaitu selalu tepat waktu---asal tidak ada hal yang aneh yang tiba-tiba merintangi jalannya. Pokoknya setiap lima belas menit sekali maka pasti bis tayo yang mulai dioperasikan pada 1 Februari 2022 itu, pasti singgah di halte untuk menurunkan dan menjemput penumpang.
Entah apa sebutan yang tepat untuk hujan yang tidak terlampau deras tapi bukan gerimis sepeti saat saya naik bis tayo pagi itu. Dari balik kaca jendela yang berembun saya melihat guguran hujan itu membasahi jalanan, bangunan sepanjang jalan, dan kelebatan mobil serta pengguna sepeda motor dan jas hujannya.
Semuanya berjalan lancar, seperti yang sudah saya perkirakan ketika saya memutuskan menggunakan moda transportasi umum ini, yaitu; saya yang bisa duduk dengan santai, tidak kehujanan, dan yang lebih penting lagi saya bisa berhemat. Bayangkan, hanya dengan 4.300 rupiah saja, saya bisa menempuh perjalanan sejauh kurang lebih 35 Km.
Semua tampak indah pada awalnya laiknya kisah-kisah picisan yang sering saya baca. Semua kenyamanan menggunakan transportasi umum itu akhirnya menemui kendala jua. Tepat di simpang tiga terminal Pal Enam(Km, 6) ketika bis tayo yang saya tumpangi sedang antre menunggu pergantian lampu merah menuju hijau, maka mulailah keruwetan itu. Sesuatu yang sudah saya perkirakan sebelumnya, karena saat itu merupakan pagi hari saat semua orang mulai beraktifitas berbarengan. Namun, saya tidak menduga bahwa kemacetan saat itu benar-benar ruwet---sungguh di luar ekspetasi. Saya melihat banyak sepeda motor yang tiba-tiba menyelip sana-sini, di setiap celah antara bis tayo dan kendaraan lain yang mengakibatkan bis yang saya tumpangi tidak bisa bergerak maju.
Butuh waktu hampir 15 menit hingga akhirnya bis yang saya tumpangi mampu melewati pertigaan lampu merah itu dan akhirnya singgah di terminal Pal Enam untuk menurunkan saya dan penumpang  lain untuk berganti bis.
Jalan Pramuka
Setelah keruwetan yang luar biasa di pertigaan lampu merah pal 6, kini tibalah saya di terminal KM.6 atau Pal 6 dan siap untuk berganti bis. Dulunya terminal pal 6 ini yang terletak di jalan Pramuka ini adalah merupakan terminal utama di Banjarmasin.Â
Sebuah terminal yang mulanya merupakan tujuan awal keberangkatan maupun kepulangan bagi tiap angkutan umum, seperti Angkutan antar kota dalam provinsi maupun angkutan antar kota luar provinsi, serta angkutan kota. Namun, perannya itu sekarang secara perlahan digantikan oleh Terminal Gambut Barakat di Km. 17.
Meski ini adalah kali pertama saya naik bis tayo tujuan Handil Bakti di Barito Kuala. Dengan diberitahu oleh penumpang lain yang baik hati dan memiliki tujuan sama, bentuknya yang berbeda dengan bis sebelumnya langsung membuat saya 'ngeh', bahwa inilah bis yang harus saya naiki.
Bis tayo tujuan Handil Bakti ini terkesan unik, karena ukurannya yang jauh lebih kecil dan cenderung terlihat imut jika dibandingkan bis tayo yang sebelumnya saya naiki. Hal ini kemungkinan karena jalur yang ia tempuh memang berbeda dengan bis sebelumnya.
Tapi ternyata meski ukurannya jauh lebih mungil, bis tayo yang saya naiki ternyata tidak se-sat-set yang saya perkirakan. Hal itu saya buktikan ketika bis ini mulai berangkat dan mulai menyusuri Jalan Pramuka. Dengan bentuknya yang seperti tablet obat, bis yang saya naiki cenderung tersendat-sendat jalannya, tapi bukan karena mesinnya bermasalah atau pramudi(sebutan untuk sopir bis tayo) ini kurang pandai dalam nyetir. Melainkan semrawutnya jalan yang harus diterabas.
Hujan yang masih melanda kota Banjarmasin pagi itu menjadi penyebab utama yang menyebabkan kesemrawutan jalan. Dengan hujan yang terus berguguran, maka para orang tua akan lebih memilih untuk mengantarkan anak mereka ke sekolah dengan mobil dibandingkan sepeda motor. Hal ini diperjelas dengan semakin susahnya bis yang saya naiki untuk bergerak ketika tiba di sekitar komplek sekolahan. Dengan begitu banyaknya mobil-mobil pribadi yang keluar masuk sekolahan sehingga mengakibatkan kemacetan jalan.