Mohon tunggu...
Zulfan Ajhari Siregar
Zulfan Ajhari Siregar Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis Buku

Penulis beberapa buku sastra kontemporer, sejarah dan budaya

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Ruang Pandang Rakyat dari Kasus J G Plate Disela Banjirnya Kejahatan di Negeri Ini

21 Mei 2023   11:24 Diperbarui: 21 Mei 2023   11:49 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Memang tidak sedap  mendengar kasus yang dituduhkan kepada Johny G.Plate, Dugaan Korupsi BTS 4G. Tahun  2020-2022 senilai Rp.8.3 Triliun dari Rp.10 Trilun. Posisi J.G.Plate, ketika melakukan dugaan korupsi itu, adalah sebagai Menteri Kominfo, Kementerian Bergengsi,  yang jangankan Menterinya Kadis-kadis Kominfo sajapun di negeri ini, banyak yang merasa peran itu merupakan peran yang dekat dengan Pimpinan Kekuasaan. Sama seperti Bung Harmoko di Masa Orde Baru, yang membawa Terompet informasi Pak Penguasa. Walaupun Rakyat yang mendengar suaraTerompet tersebut, selalu tutup telinga.

             Tapi ketika melalui layar kaca, dan Media-media yang memberitakan atau menyebarkan penangkapan J.G.Plate, yang begitu berlebihan nah disini juga perlu ada kajian. Mengapa dikaji ?, diakan penjahat. Masalahnya selain negeri ini masih adalah negara Pancasila, ada momentum politik yang terpaksa menggerakan pemikiran rakyat indonesia, atas mengapa oh mengapanya?. Ada beberapa kebetulan dalam masalah itu, yang mau tidak mau, memaksa munculnya pikiran Rakyat. Karena berbagai hal J.G.Plate adalah Sekjen Partai Nasdem, Partai yang mengambil resiko mendukung Anies Baswedan.  Kemasalah inilah masyarakat mengait-ngaitkan permasalahan tesebut, apapun dalih Pemerintah. 

             Kejahatan Korupsi itu, kejam dan berdampak kepada semua kehidupan. Seperti yang disebut oleh Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Ketut Sumedana menjelaskan, proyek BTS ini bernilai strategis karena diperuntukkan bagi orang banyak, terutama untuk masyarakat terpencil dan terdalam di pelosok negeri. Statemen hukum itu, kedengarannya Heroik. Dan tidak kalah bernilainya, ketika pihak Kejaksaan juga meneriakan slogan, hajar habis kejahatan Narkoba, itu sangat menbahayakan Rakyat Negeri ini, terutama generasi muda. Tapi apakah hal-hal yang diharapkan Rakyat dari ketegasan hukum tersebut, bisa terlaksana di seantero negeri ini.

            Ahh....berapa banyak lagi orang-orang Kejaksaan yang bakal bernasib seperti Mbak EKT Jaksa Dari Kejaksaan Batu Bara Sumut itu. Direkam, disadap walaupun Rakyat tidak punya alat Penyadap seperti milik KPK, toh sasarannya kenak juga kok.  Dan apakah bila saja Pak Kades Korupsi Dana Desa yang kwatitasnya meluas,kalau  jumlahnya di kalkulasi se negeri ini, juga mungkinkah  tidak berjumlah triliunan ?. Dan apakah tingkat urgensi Dana Desa tersebut, belum pas dikatakan sebagai kepentingan rakyat secara luas ?.

           Kompasioner, yang juga Pengelola Media Masa lainnya, pernah hidup dibeberapa zaman. Wartawan dua zaman,  zaman orde baru sampai dengan zaman orde apa ini ya ?. Dimasa Orde baru dimanfaatkan Golkar, untuk menggalang sebanyak-banyaknya sasaran penggalangan. Melihat kondisi saat ini, terpaksa selalu nyemir rambut dalam usia tua ini. Sebahagian proses pemutihan rabut itu, karena harus tetap menyaksikan pemandangan yang kata orang Betawi " Kudu-kudu Lucu " kepada orang betawi mohon maaf, apakah penempatan kata istilah itu sudah benar, atau hanya ngingat dari mimpi. Dan Kompasioner harus Takana {Terkenang) Kampung Kedua Denai, yaitu Minang dengan pepatahnya " Takilek Ikan di Lauik Alah Tau Den Jantan Jo Batinonyo " Terkilas Kilatan Ikan di Laut, Sudah tahu aku Jenisnya Jantan  Atau Betina, itu artinya. Pepatah yang bermakna dalam, dengan arti alah...janganlah kadal-kadali aku. Nenek-nenek kami,Mbah kami dimasa Belanda, dan Jepang sudah capek menerima cara pengkadalan itu.  Tentara Jepang  sembari mengacukan tangannya, mereka bilang " Indonesia -- Jepang Sama-samane.. " Tangan yang digunakan untuk Jepang tetap berada posisi atas, dan Indonesianya, jauh dibawah tangan untuk Jepang itu. Itulah peraktek Pengkadalan versi Jepang, yang ketika itu, Rakyat ini masih banyak tidak makan Sekolahan, pun tahu, Rakyat sedang dikadali Penjajah itu.

           Negeri ini sedang dalam proses, berbagai kondisi bisa terjadi dalam cuaca perpolitikan. Apalagi perpolitikan yang disebut Mahkota Demokrasi, yang akan berlangsung di tahun 2024. Terlalu banyak kepentingan politik yang bermain, terkecuali untuk Kompasioner yang nulis artikel ini, sudah lama melupakan aktifitas Politik Praktis.  Dan sudah termasuk kenyang, melihat, mendengar, bahkan ikut nimbrung jujur saja, dalam permainan politik, pernah di Jakarta dimasa Orba. Apa yang terjadi dalam rentang waktu saat ini, bisa ditaut-tautkan orang dengan situasi perpolitikan itu termasuk gebrakan Menkopolhukam Mahfud MD. Sebagai Penulis media cetak, Kompasioner kerab menulis tulisan yang bernada pembelaan terhadap Prof Mahfud MD.Dalam berbagai langkah yang dia tempuh, Kasus 349 Trilun, kasus Orang Jual Orang, dan lainnya mengapa saya membela pak Mahfud, saya simpaty. Dan tidak mau ada orang -- orang yang melebeli Pak Mahfud MD dengan berbagai lebel negatif. Karena apapun cara dan situasinya, dia sudah berbuat dari apa yang harus dia perbuat.Lebih baik terlambat dalam berbuat, dari pada tidak berbuat sama sekali.Begitu juga Presiden Joko Widodo, turun ke Lampung dan Sumatera Utara, masuk lumpur lihat  jalan, bukan mau cari belut. Ini tetap menjadi nilai positif bagi masyarakat, karena inti dari perbuatan itu benar. Labura Sumatera Utara, yang jalannya ditinjau Pak Jokowi, sampai Lebaran Buayapun akan tetap begitu-begitu saja, kalau tidak digebrak Presiden. Kompasioner tahu betul itu, karena disanalah Kompasioner dihunjuk Golkar sebagai Kordinator Wilayah dimasa Orba.

           Tapi untuk skandal BTS ini, rasanya perlu ada pengendoran injakan gas dari Pak Mahfud MD, mengapa ? nuansanya agak lain. Beda dengan kondisi 349 T, dan TPPO dan lainnya, ini perpaduannya seperti kompleks dengan kondisi politik berkembang. Sementara berdasarkan observasi, evaluasi yang dilakukan kelompok dari Kompasioner didaerah. Gebrakan Prof Mahfud MD, dalam beberapa fase gebrakan hukum, itu sudah berproses secara positif,  melalui tanggapan dan opini publik didaerah khususnya, bahkan banyak mulut yang ngomong " Maunya Pak Mahfud Nyapres saja ya Kita dukung ", walaupun terkadang ada sambutan dalam bentuk kata tanya " Mau Kapal apa ?, Kapalnya yang mana ?" ini kondisi sebenarnya, tentang popularitas Prof Mahfud pasca buka-bukaan kasus Trilun-trliun itu. Tapi begitu muncul kasus J.G.Plate, Pak Mahfud buat statemen, sepertinya respon pengamat politik tingkat-tingkat lokal lah, ini sepertinya mengalami mutasi pertimbangan. Ya ini juga perlu disampaikan kepada Pak Mahfud, apa alasan masyarakat juga masih variatif. Bisa saja, konteksnya politik, atau bisa jadi resonansi tergelarnya aksi penangkapan J.G.Plate oleh pihak Kejaksan Agung, yang banyak dicerna masyarakat negeri ini, seperti berlebihan. Sudah jelas J.G.Plate terkena sangkaan dugaan korupsi, dalam nilai begitu besar. Perlu ada analisa politis, untuk tidak menyebabkan erosinya simpaty masyarakat itu. Mengapa begitu, apa dasarnya ?.  Karena pada hakikatnya, bangsa negeri ini sepertinya masih banyak yang dibaluti sikap kemanusiaan, sikap kepudulian, sikap sopan dan santun, dan sentimentil, yang tanpa dasar yang kuat mau berurai air mata sedih. Memang tidak logika, tapi ini terjadi.  Yang sebenarnya toh juga terkadang belebihan. Ada yang menangis, ketika melihat J.G.Plate yang masih berstatus Kominfo itu, melihat Gestur dan tatapan nanap dia,  kepada Gari atau Borgol  yang dikenakan ditangannya, dan dari Wajahnya seolah-olah dia bicara dan protes, protesnya itu tertahan. Sesuatu  Prilaku dan perwatakan kasihan dari Rakyat, seperti ini sebenanya masih bagus, masih mengemukakan perasaan dalam melihat dan menganalisa berbagai keadaan dan pemandangan.  Walaupun pada hakikatnya kita tidak boleh karam dalam perasaan dan tidak boleh cengeng. Menyangkut masalah perasaan ini, memang  sulit menganalisanya. Kompasioner pernah mengalami hal itu, ketika ditugaskan sebagai Tim Kampanye di Pesisir Kabupaten Labuhanbatu Dimasa lalu Orba di Tanjung Leidong, Kota Pantai yang jalan menuju kesana, baru ditinjau Pak Presiden Jokowi. Kompasioner Bertemu mantan anggota dari PPP, itu malam hari, si anggota menyembunyikan sesuatu, begitu kepergok di jalan dia langsung minta maaf, dan menyatakan " Maaf Bang Cuma sedikit nya.. " Katanya lemah. Kompasioner bingung, apa yang harus dimaafkan, rupanya dia malam itu punya misi memasang Tanda Gambar PPP yang dia anggap bertentangan dengan Kompasioner yang kala itu sebagai Tim Kampanye Golkar. Sebelum di Golkar, Kompasioner mendukung PPP jadi anggota Bang Bachtiar Chamsyah, saya kenal dia, kalau dia tidak kenal lagi dengan Kompasioner Zulfan Ajhari Siregar, yang mungkin faktor usia. Untuk anggota yang minta maaf,  Inilah bentuk perasaan itu, karena selama kurun waktu berkembang Kompasioner sebagai orang Pers juga banyak membela dan menyuarakan kepentingan masyarakat Terkadang bertentangan dengan sikap aktifis Politik Golkar lainnya. Nah ini jugalah yang mempoles sikap masyarakat saat ini terhadap Prof Mahfud MD.  Yang mana kita yakin, statemen demi statemen Pak Mahfud itu murni bicara atas nama hukum, akan tetapi nuansa dan suasana, serta nafas politik yang berkembang saat ini dipadukan, dengan keberadaan J.G.Plate, akan merobah makna bahasa pak Mahfud tersebut, ditelinga dan pandangan masyarakat negeri ini. Apalagi saat perjalanan politik ini, pandangan masyarakat yang akhir-akhir ini, besar mengarah kepada Prof Mahfud, bahkan sampai sampai ada bahasa  "Wah Cuma Prof Mahfud Yang Imbang Jadi Lawan Politik Anies Baswedan, Dalam Pencampresan ini " Itu bahasa masyarakat walaupun konteksnya, bahasa klas bawah, sudah sampai kesana bahasa masyarakat itu. Untuk mengenal orang Sumut dan Aceh, adalah masyarakat paling enggak percaya yang namanya Survey-survey Politik,  untuk popularitas.  Ibarat tali Gitar, suara dan Gebrakan Mahfud MD di Sumut, berdasarkan tanya jawab dengan siapa saja. Sepertinya mempengaruhi Popularitas Anies.  Ditimpa nama Prof Mahfud MD, Pasca Kisah Uang yang jumlahnya bila direntang bisa menutupi lapangan bola, dalam nilai ratusan triliun itu. Masuk lagi, kehadiran Mahfud ke Batam, dan bongkar kasus Orang Jual Orang. Ini jadi perhatian publik yang positif. Apalagi kisah uang trilunan itu, harus membuka ruang pemikiran pejabat daerah yang pernah terkena Re Focusing, Anggaran Negara yang berimbas kepada pemangkasan berbagai aktifitas dari basis keuangannya,  termasuk dana hibah untuk Ormas dan El Es Em yang banyak meringis akibat dari Refocusing itu. Suatu Kebijakannya yang menyetir konsep kebijakan Kementerian Keuangan. Buruknya pula, masalah Trilun-triliun itu juga berhembus dari angin Kementerian tersebut, merupakan angin berbau tidak sedap. Dan Gdebak..gdebuk dihajar Menkopolhukam, tidak kelihatan ada nuansa politik didalam hal itu.  Gebrakan Mahfud diartikan normal, sebagai Geramnya seorang Menkopolhukam. Lalu anak negeri ini, tidak hanya sekedar mendehem, jumlah uang yang digebrak Prof Mahfud itu, jadi bahasan Kedai Kopi. Kede Kupi kalau di Aceh. Begitu banyaknya uang itu, kalau itu milik negara, tidak perlu lagi refocusing. Sentuhan pertanyaan itulah yang selalu muncul dari orang kecewa,  kecewa termasuk para pengurus Ormas, yang melongo ketika hadir ke Kantor Kesbang didaerahnya, dengan jawaban " Enggak Cukup Uang Pemkab Mas, kena Refocusing, dana hibah ditunda ".Sang tokoh ngeloyor pergi, sambil ngomel, dan mengingat,  khabarnya ada juga Institusi yang tidak bersedia anggaran mereka di refocusing. Yah semacam kebal refocusinglah.Dua ratus delapan puluh juta jumlah rakyat negeri ini, di Jakarta paling besar hanya dua puluh sampai tiga puluh juta, itupun kalau ada.  Lainnya berada di daerah-daerah, suatu jumlah menyebar yang perlu diperhitungkan, sampai kepada Pemilu, Pilpres dan Pilkada 2024 mendatang.

          Dalam kajian politis, tidak ada pemahaman politis Rakyat negeri ini yang berlangsung monoton, semuanya berlangsung berdasarkan naluri kepekaan politik, yang dipengaruhi kondisi dan situasi yang berkembang. Kalau ada Partai Politik yang mengklaim, masa kami sekian puluh juta, itu perlu dikaji dari sudut mana. Kalau yang diandalkan adalah jumlah suara yang berhasil diraih para anggota DPR dari Partai tersebut, itu belum bisa disebut masa Partai itu. Pemilih yang suaranya diraup, justru terdiri dari banyak unsur, cara dan setrategi untuk peraihan suara itu, bahkan tidak tertutup kemungkinan melalui cara yang kurang baik "Transaksional ".  Dalam sejarah perjalanan politik negeri ini sejak orde baru, yang mungkin bisa mengklaim jumlah masa itu, adalah Golkar berdasarkan NPAG, dan PPP berdasarkan masa Agamis. Peraktek Politik melalui jalur agama ini juga, tidak mutlak untuk PPP. Karena Golkar juga  melakukan setrategi itu. Golkar terkenal dengan reputasi politik, yang berhasil melakukan pengkaderan untuk meyakinkan masyarakat dalam peraktek Sekasur, Sedapur dan Sesumur. Kajiannya juga,kalau Pemilu menggunakan system proporsional tertutup, kemungkinan Golkar bisa besar kembali. Ini berdasarkan kejenuhan perpolitikan negeri ini.

         Melintasi tahun politik ini, kasus J.G.Palate, memang penanganannya harus tidak mengabaikan Teropong Politik Masyarakat. Kita juga sudah lelah memasuki fase demi fase yang rasanya kurang bermanfaat dan kandas dalam debat politik.  Ini juga tidak lepas dari kajian Presiden Soekarno dimasa lampau. Yang mengidentifikasi Banyaknya Partai Politik, akan berpengaruh terhadap perkembangan bangsa ini. Tapi nyatanya orang masih  banyak yang tergiur, nimbrung dalam kancah Politik Peraktis.***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun