Mohon tunggu...
Zulfakriza Z.
Zulfakriza Z. Mohon Tunggu... Dosen - Dosen yang senang ngopi tanpa gula dan tanpa rokok

Belajar berbagi lewat tulisan

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Memburu Gempa Susulan di Pidie Jaya

25 Januari 2017   15:58 Diperbarui: 26 Januari 2017   11:35 448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 1. Distribusi stasiun seismograf yang terpasang setelah gempa Pidie Jaya (Koleksi Pribadi)

Dalam istilah seismologi, gempa susulan dikenal dengan sebutan aftershock. Setelah gempa utama terjadi, biasa dalam kurun waktu tertentu diikuti oleh beberapa gempa susulan yang kekuatan relatif lebih kecil dari gempa utamanya.  Bagi masyarakat yang berada disekitar daerah kejadian gempa, goncangan akibat gempa susulan tentunya menimbulkan kepanikan dan ketakutan. Tidak sedikit dari mereka yang rela tidur di luar rumah selama berhari-hari bahkan berminggu dengan kondisi beralaskan tikar dan beratap terpal. Tentu hal itu sangat beralasan, karena sebagian rumah mereka yang retak dan rentan menimbulkan bencana jika terjadi gempa susulan.

Jika merujuk pada kamus Wikipedia, gempa bumi susulan dijelaskan sebagai gempa bumi yang terjadi di daerah yang sama dengan gempa bumi utama, akan tetapi magnitudonya cenderung lebih kecil. Semakin besar magnitudo gempa utama, maka semakin sering terjadi gempa susulan. Contoh sederhana, jika gempa bumi terjadi pada magnitudo 7 maka gempa susulan bisa terjadi dalam kurun waktu 5 sampai dengan 7 tahun.

Secara seismologi, pola gempa susulan mengikuti kaidah Hukum Omori. Hukum Omori diperkenalkan oleh Omori Sensei salah seorang peneliti gempa asal Negeri Sakura. Omori Sensei memublikasikan hasil penelitiannya pada tahun 1894 tentang gempa susulan. Hukum Omori merupakan rumus empiris untuk menghitung skala gempa susulan, yang menyatakan bahwa frekuensi gempa susulan menurun berdasarkan resirokal waktu setelah gempa utama terjadi.

Jika terjadi gempa bumi dalam skala yang signifikan, seperti halnya pada gempa bumi yang terjadi di Pidie Jaya 7 Desember 2016 lalu. Dalam hitungan orde menit, terjadi gempa-gempa susulan yang bisa dirasakan. Gempa susulan yang dirasakan manusia pada kisaran skala magnitudo 4 - 5. Akan tetapi, pada kenyataannya gempa bumi dalam skala yang lebih kecil (kurang dari 4) bisa terjadi ratusan bahkan ribuan. Gempa-gempa tersebut hanya dapat tercatat jika menggunakan alat seismometer yang merupakan alat untuk merekam getaran gempa bumi.

Gempa susulan bukanlah hal yang bisa diabaikan. Gempa susulan ada kemungkinan berbahaya karena selain tidak bisa diperkirakan waktu dan lokasi secara akurat. Gempa susulan dapat berupa sebuah gempa dengan magnitudo besar dan dapat menghancurkan bangunan-bangunan yang rusak dikarenakan gempa utama. Gempa besar dapat memiliki gempa susulan yang lebih banyak dan lebih kuat dimana kemunculannya dapat bertahan dalam hitungan tahun atau lebih lama.    

Para ahli seismologi, sesaat atau beberapa hari setelah gempa datang ke lokasi untuk memburu gempa-gempa susulan. Sebaran gempa susulan yang terjadi setelah gempa utama menyimpan pelajaran penting dalam memahami proses dinamika bumi. Kejelasan bidang sesar aktif yang menjadi sumber gempa salah satu hal penting yang ingin didapat dapat dari pola sebaran gempa susulan. Selain itu penjalaran gelombang seismik dari sumber gempa ke permukaan yang terekam seismometer dapat memberikan informasi struktur lapisan bawah permukaan.

Gempa bumi yang terjadi di Pidie Jaya, Aceh pada 07 Desember 2016. Gempa bumi ini tergolong gempa merusak karena kekuatannya yang signifikan. Info lebih tentang gempa ini dilihat pada tulisan sebelumnya. Berselang 7 hari setelah gempa, beberapa ahli seismologi dari ITB, BMKG dan Unsyiah memasang 9 alat pendeteksi gempa (seismograf) di Pidie, Pidie Jaya dan sekitar Bireuen. Tujuan utama dari kegiatan ini adalah untuk merekam gempa-gempa yang terjadi setelah gempa bumi pada 7 Desember 2016 lalu. Sebaran lokasi stasiun seismograf sebagaimana terlihat pada gambar 1.

Sumber gambar: tekno.kompas.com
Sumber gambar: tekno.kompas.com
Apa yang dilakukan para ahli seismologi untuk memburu gempa? Pertama sekali tentu menyiapkan peralatan yang terdiri dari seismometer, recorder, gps dan baterai. Kesemua peralatan tersebut disimpan pada satu lokasi selama kurun waktu tertentu (misal 1 bulan). Dan secara berkala dilakukan pengecekan untuk memastikan seismograf bekerja dengan baik dan dapat merekam sinyal.

Berikut adalah beberapa hal yang dilakukan dalam proses pemburuan gempa susulan di Pidie Jaya:

  1. Proses instaslasi seismograf 
    Untuk menghidari getaran-getaran yang tidak diinginkan, penempatan alat seismograf diusahakan pada lokasi yang relatif sepi dari aktivitas manusia. Sehingga pemilihan lokasi penempatan seismograf merupakan salah satu hal yang penting.
  2. Pengecekan secara berkala
    Secara berkala dilakukan pengecekan untuk memastikan alat bekerja dengan baik dan sinyal terekam dengan sempurna. Pada tahapan pengecekan, juga dilakukan pengunduhan data yang terlah terekam dalam recorder.
  3. Pengecekan akhir/end survey
    Pengecekan akhir dilakukan setelah satu bulan pengamatan dan sekaligus pengambilan alat untuk dipindahkan pada lokasi yang lain. Tepat tanggal 15 Januari 2017, delapan dari sembilan seismograf sudahend survey dan direncanakan untuk dipindahkan ke lokasi yang lain.
  4. Pengolahan data 
    Data yang terekam dalam seismograf akan menjadi informasi jika melewati proses pengolahan dengan baik dan cermat. Data tersebut akan berbunyi nyaring dan memberikan informasi tentang fenomena dinamika bumi..

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun