Gempa bumi adalah fenomena alam yang belum bisa diperkirakan waktu kejadiannya, setidaknya sampai saya menulis artikel ini. Banyak hal yang masih misteri bagi para ahli kegempaan untuk memastikan waktu kejadian gempa bumi. Oleh sebab itu, konsentrasi mereka adalah pengurangan risiko yang terjadi akibat gempa bumi.
Seperti yang sering dikampanyekan, bahwa gempa bumi tidaklah membunuh, akan tetapi bangunan rubuh yang membunuh. Artinya, sebuah bangunan dengan struktur atau konstruksi yang runtuh akibat goncangan gempa menjadi penyebab korban jiwa.
Kita sudah sangat paham, bahwa Indonesia adalah salah satu negara yang rentan bahaya gempa bumi. Kerentanan bahaya gempa bumi di Indonesia merupakan implikasi posisi Indonesia yang berada pada zona pertemuan 4 lempeng besar dunia dan beberapa lempeng kecil yang bersifat lebih lokal.
Keempat lempeng tersebut adalah empeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia, Lempeng Laut Filipina, dan Lempeng Pasifik. Sedangkan untuk lempeng-lempeng kecil berdasarkan kajian geologi, geodesi dan seismologi adalah Burma, Sunda, Laut Banda, Laut Maluku, Timor, Kepala Burung, Maoke, dan Woodlark (sumber Buku Gempa PunGeN, 2017).
Hal tersebut menjadikan tektonik wilayah Indonesia rumit dan menarik untuk dipahami. Lebih jelas keberadaan keempat lempeng besar tersebut sebagaimana yang dperlihatkan pada gambar berikut.
Sebut saja gempa yang terjadi di Aceh pada 26 Desember 2004 (Mw 9.2), gempa di Nias 2005 (Mw 8.7), gempa di Jogjakarta 2006 (Mw 6.5), gempa di Pangandaran 2006 (Mw 7.8), gempa di Bengkulu 2007 (Mw 8.5), gempa di Padang 2009 (Mw 7.6), gempa di Mentawai 2010 (Mw 7.8) dan yang terakhir adalah gempa di Pidie Jaya (Mw 6.5). Secara keseluran kejadian gempa bumi yang pernah terjadi di Indonesia sebagaimana ditunjukkan pada gambar 2 berikut.
Beberapa saat setelah kejadian gempa bumi menjadi sebuah moment penting, terutama bagi pemerhati gempa bumi. Hal ini dikarena setiap kejadian gempa bumi menyimpan pelajaran berharga. Sehingga para ahli kegempaan melakukan beberapa item survey langsung di lokasi kejadian.
Perlunya survei setelah kejadian gempa dibahas dalam acara "Workshop Paska Kejadian Gempa, Survei dan Pengumpulan Data Sumber Gempa" yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Gempa Nasional (PusGen) di Bandung 14 - 15 November 2017.
Selama dua hari para ahli kegempaan Indonesia duduk berdiskusi dan bersinergi untuk memahami kebutuhan survei dan pengumpulan data setelah kejadian gempabumi. Para pemateri dalam workshop ini terdari dari ahli geologi, geodesi, seismologi, teknik sipil dan ilmu sosial.Â
Belajar dari kejadian gempa yang terjadi di Pidie Jaya 2016 lalu, setidaknya ada beberapa hal yang dilakukan beberapa saat setelah kejadian gempa bumi, yaitu:
- Pemetaan kerusakan bangunan akibat gempa bumi
- Merekam gempa susulan untuk memahami mekanisme gempa
- Pemantauan retakan di permukaan (surface rupture)
- Pemantauan kerentanan tanah dan likuifaksi
- Melakukan survei perilaku sosial masyarakat saat dan paska kejadian bencana