Dalam bahasa sehari-hari kata guru sering diartikan dengan padanan kata digugu dan ditiru. Sehingga muncul istilah “Guru kencing berdiri, maka murid kencing berlari”. Istilah ini menggambarkan bahwa prilaku seorang guru menjadi menjadi cerminan untuk ditiru oleh muridnya bahkan kelakuannya melebihi prilaku jelek yang dilakukan seorang guru. Kepribadian dan karakter baik seorang guru merupakan hal penting dalam membentuk karakter sebuah generasi. Dan generasi yang memiliki karakter yang baik dan kuat menjadi modal penting bagi paradaban sebuah bangsa.
Dalam Islam, seorang guru ditempatkan pada posisi yang tinggi dan penting. Guru merupakan bagian dari penentu kemajuan, peradaban dan kecerdasan sebuah bangsa. Di sisi lain guru juga mengemban amanah dan tanggung jawab yang sangat berat untuk mendidik dan membangun generasi yang cerdas serta berakhlak mulia sebagai modal bangsa. Sehingga sangat beralasan jika Islam memposisikan guru pada posisi yang penting. Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Tirmidzi “Sesungguhnya Allah, para malaikat, dan semua makhluk yang ada di langit dan di bumi, sampai semut yang ada di liangnya dan juga ikan besar, semuanya berselawat kepada guru (orang yang berilmu dan mengajarkannya) yang mengajarkan kebaikan kepada manusia.
Seorang guru identik dengan seseorang yang memiliki ilmu pengetahuan dan dikarunia kemampuan yang lebih oleh Allah SWT. Dengan ilmu yang ada, seorang guru menjadi sebagai perantara bagi manusia yang lain untuk mendapatkan dan memperoleh jalan untuk menuju sesuatu yang lebih berguna baik di dunia maupun di akhirat.
Secara harfiah, kata guru memberikan pengertian sebagai seseorang yang pekerjaannya mengajar atau yang berprofesi mengajar. Dalam beberapa istilah yang ada dimasyarakat, kata guru juga sering disebut dengan kata ustadz, mu’alim, murabbiy, mursyid, mudarris dan mu’addib yang artinya orang yang memberikan ilmu pengetahuan dengan tujuan untuk mencerdaskan dan membina akhlak peserta didik agar menjadi orang yang berkarakter baik dan kuat. Sedangkan secara terminologi, guru adalah orang yang berwenang dan bertanggung jawab terhadap pendidikan muridnya, baik secara individu maupun klasikal, baik di sekolah maupun di luar sekolah.
Dengan merujuk pada beberapa peryataan di atas, maka dapat ditarik sebuah pemahaman bahwa seorang guru adalah orang yang mendidik dan memberikan ilmu pengetahuan kepada peserta didik dengan tujuan agar peserta didik mampu memahami, menemukan solusi dan mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Kata mendidik menjadi hal penting. Jika melihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, maka kata mendidik diartikan sebagai kegiatan untuk memelihara dan memberi latihan (ajaran, tuntunan, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Sehingga kegiatan mendidik dan mengajar merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan dalam diri seorang guru. Kedua hal tersebut menjadi penting dalam membentuk karakter baik dan kuat yang merupakan pondasi penting dalam peradaban sebuah bangsa.
Peradaban sebuah bangsa sangat ditentukan oleh generasi penerus. Generasi penerus merupakan modal bangsa yang menjadi aset penting untuk kemajuan sebuah bangsa. Jika generasi penerus sebuah bangsa yang memiliki karakter baik dan kuat yang terlahir dari sebuah proses pendidikan yang berkarakter akan menjadika peradaban sebuah bangsa maju dan beradab.
Sedangkan jika sebuah generasi yang terlahir dari sebuah pendidikan yang hanya mengandalkan kecerdasan pikiran dengan mengesampingkan kecerdasan spritual dan akhlak, maka yang terjadi adalah sebaliknya. Seperti fenomena perilaku amoral yang melibatkan peserta didik sebagai pelakunya, seperti seks pra-nikah, video porno, penyalahgunaan NAPZA dan minuman keras, tawuran, kekerasan perploncoan, penghinaan guru dan sesama murid melalui media sosial. Bahkan kasus-kasus korupsi, kolusi dan manipulasi yang prevalensinya banyak melibatkan orang-orang terdidik dan terpelajar.
Jika melihat kondisi saat ini, fenomena prilaku amoral yang melibatkan peserta didik hampir menjadi pemandangan setiap hari. Beberapa media sempat memberitakan prilaku sex bebas diantara peserta didik, bullying, penyalahgunaan narkoba, bahkan penghinaan guru dari murid baik secara langsung maupun lewat media sosial. Sehingga penulis mencoba menarik kesimpulan, sepertinya ada yang salah dengan kondisi yang terjadi selama ini. Tentunya kita tidak perlu menghabiskan waktu untuk menyalahkan pihak sekolah, pemerintah ataupun menyalahkan lingkungan dan media.
Akan lebih baik kita kembali ke keluarga kita masing-masing. Bukankah sekolah pertama yang awal pendidikan anak-anak kita ada di dalam rumah, dan kita sebagai orang tua menjadi guru pertama bagi anak-anak kita. Di saat kita menjadi Ayah dan Ibu, disaat itu juga profesi sebagai guru sudah melekat dalam diri kita. Guru pertama bagi anak-anak yang menjadi amanah dan tanggung jawab kita untuk mendidik. Jika setiap keluarga fokus untuk mendidik dan mengajarkan karakter baik pada anak, kemudian meningkat pada setiap keluarga dalam satu kelurahan, kecamatan, kabupaten, provinsi bahkan negara. Sehingga tidak mustahil sebuah bangsa dan negara akan berisi keluarga-keluarga dengan karakter baik dan akhlak mulia.
Guru Universal
Menurut hemat penulis, dalam artian yang luas guru bukan hanya seseorang yang berprofesi sebagai pegajar dan berdiri didepan kelas dan mengajarkan sebuah ilmu serta memberi nilai pada akhir semesteran. Semua kita adalah guru, minimal guru untuk diri dan keluarga. Ki Hajar Dewantara pernah berucap “Setiap orang menjadi guru dan setiap rumah menjadi sekolah.