ajuddinnoor Ganie (TNG), sastrawan dan budayawan nasional asal Kalsel ini, pekan ini menyita perhatian pemerhati sastra Indonesia. Bukan karena karya terbarunya atau aktivitas sastranya, tapi karena menjual koleksi majalah sastra Horison miliknya, setelah sebelumnya menawarkan koleksi bukunya. Melalui dinding facebook-nya, 25 Maret tadi, TNG memasang foto-foto sampul Horison puluhan edisi tahun 80-an dan 90-an, lengkap dengan harganya.
Kebiasaan TNG jualan buku ini memang bukan hal baru. Dulu, saat masih muda, TNG malah pernah buka lapak di Blauran, khusus jualan buku. Bahkan, saat pergaulan kami di penjual koran Bundaran Hasannuddin, TNG juga sering titip jual buku dengan Iyan dan Ayib, pemilik lapak di situ. Namun, jadi menimbulkan reaksi karena yang dijualnya kali ini adalah majalah sastra Horison.
Bagi sastrawan Indonesia, majalah sastra Horison, yang terbit sejak 1966 sampai sekarang, adalah salah satu kitab suci sastra Indonesia. Sebagian malah mengganggap Horison sebagai tolak ukur kualitas sastra Indonesia. Pengoleksi dan pembaca Horison, bukanlah sembarang orang, kecuali yang memang benar-benar ‘beriman’ dengan sastra Indonesia. Jelas menimbulkan tanda tanya kalau koleksi itu kembali dijual.
Saya yakin, dijualnya koleksi Horison itu, dan juga buku-buku sastra lainnya, oleh TNG bukan karena butuh uang. Namun, ini menurut pengakuan TNG, karena takada rak dan ruang lagi untuk menampungnya. Itu saja. TNG selama ini memang dikenal sebagai pengoleksi karya-karya sastra banua. Dengan Pusat Kajian Masalah Sastra (Puskajimasta) yang didirikannya sekitar 90-an, TNG mengumpulkan ribuan klipping koran, fotokopi, buku, dan majalah yang memuat karya urang Banua.
TNG tidak sendiri. Bersama Y.S. Agus Suseno dan (alm.) Maman S.Tawie (1957-2014) pernah mendirikan Forum Dialog Sastra (Fordias) yang salah satu misinya mendokumentasikan karya sastra Banua. Mereka pernah menjemput karya itu langsung ke penulisnya, antara lain, ke rumah (alm) Arthum Arta (1920-2002) dan Hijaz Yamani (1933-2001). Seluruh dokumentasi sastra itu masih tersimpan di rumah Maman, tanpa tahu bagaimana kondisinya sekarang.
Sementara itu, Micky Hidayat, sastrawan nasional urang banua ini juga pernah mendirikan (Pusat) Dokumentasi Sastra Hijaz Yamani, tahun 2012.. Namun, belum terdengar lagi bagaimana perkembangannya. Padahal masyarakat sastra Kalsel menaruh harapan besar terhadap pusat dokumentasi ini. Apalagi lembaga ini didirikan dalam bentuk yayasan.
Saya lantas berpikir, saatnya, siapa pun, pribadi-pribadi, atau pemprov dan pemko/kab di Banua mulai memikirkan untuk mendirikan sebuah lemabga Pusat Dokumentasi Sastra Banua, yang secara kontinyu dan profesional mengumpulkan dan mendokumentasikan karya-karya sastra urang Banua. Ya, semacam Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin di TIM Jakarta. Tentu ini bukan pekerjaan mudah.
Yang dikhawatirkan bila tidak segera didirikan lembaga ini adalah, lambat laun, jika orang-orang semacam TNG dan siapa pun itu sudah tiada, karya sastra adiluhung urang Banua, sejak dulu sampai sekarang takterdokumentasi dengan baik. Ini akan menjadi penyesalan takberujung. Ke mana generasi sastra Banua masa depan akan mencari karya pendahulunya. Maka, kepada kitalah, yang masih babincalak ini memikirkan dan mewujudkannya. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H