Di sebuah malam, seorang penari wanita dan pemusik dari Birkasha diizinkan masuk ke istana pangeran. Mulailah wanita itu menari dengan iringan bunyi alat musik kecapi, siter, dan seruling. Beberapa tarian dibawakannya, tarian pedang, tarian api, dan tarian lembing. Dia juga membawakan tarian angkasa dan bintang, diakhiri dengan tarian kembang yang memesona.
Semua tarian telah selesai dibawakan oleh sang penari. Kemudian dia berdiri menghadap sang pangeran dan membungkuk memberi hormat. Pangeran pun bertanya, "Wanita cantik, putri yang anggun nan ceria, dari mana engkau menyerap seluruh ilham kesenianmu? Bagaimana pula engkau dapat menguasai segala unsur irama serta puisi?"
Sambil membungkuk lagi, penari tersebut menjawab, "Baginda yang mulia dan berdaulat, saya tidak dapat menjawab pertanyaan Baginda. Hal yang saya ketahui hanyalah:Â Jiwa ahli filsafat tinggal di hatinya, jiwa penyanyi tinggal di tenggorokannya, tapi jiwa penari ada di sekujur tubuhnya."
Demikianlah Kahlil Gibran (1883-1931), penyair romantis Lebanon ini melukiskan hakikat tari dan penari, dalam bukunya yang berjudul The Wanderer (Sang Musafir). Tak heran kalau Kamaladevi Chattopadhyaya (1903-1988) dari India, menyebut tari sebagai suatu insting, desakan emosi di dalam diri yang mendorong untuk mencari ekspresi pada tari, yaitu gerakan-gerakan luar yang ritmis yang mengarah pada bentuk-bentuk tertentu.
Menyaksikan pertunjukkan tari bagi saya, dan bagi siapa pun, adalah sebuah keasyikan yang tak bisa digantikan oleh pertunjukkan seni pentas apa pun. Pada tari, apalagi tari kontemporer, bukan hanya soal kelenturan dan ketegasan gerakan, baik karena mengikuti irama musik pengiring, maupun gerakan dari irama yang dibayangkan sendiri, melainkan juga soal kejujuran karena gerakan gerakan itu datang dari jiwa.
Itulah yang saya temukan pada gerakan tubuh seorang Eko ‘Pece’ Supriyanto dengan Memori-nya dan gerakan Angga Djamar dan rekan dari Nan Jombang Dance Company dengan Rantau Berbisik-nya, ketika pentas pada Pergelaran Tari Klasik Banjar dan Tari Kontemporer di Taman Budaya Kalsel (28/10) kemarin. Gerakan dan ritme yang muncul mampu membius penonton dalam kepasrahan penikmatan.
Inilah yang menurut saya hal paling membedakan antara tarian kontemporer dengan tarian tradisional atau pun klasik. Jikalau sebuah tarian hakikatnya adalah sesuatu nonverbal yang sesungguhnya berbicara dalam bahasa verbal dalam bentuk gerak, maka tarian kontemporer tak terjebak dalam verbalistis, semata hapalan, seperti pada tarian klasik.
Keberhasilan pertunjukan tari kontemporer adalah ketika penonton tetap merasa puas sekalipun tak bisa langsung memahami makna setiap gerakan, bahkan tak sadar bahwa tarian sudah berakhir. Namun, bukan berarti tarian kontemporer sebuah puisi gelap. Tarian ini tetap terang benderang karena sesungguhnya simbol gerakannya adalah hakikat pikiran kita sendiri yang diterjemahkan dalam ekspresi dan improvisasi yang membesut keliaran imaji dalam sebuah kemasan estetis. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H