Mohon tunggu...
Zulfaisal Putera
Zulfaisal Putera Mohon Tunggu... Administrasi - Budayawan, Kolumnis, dan ASN

Berbagi dengan Hati

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Papadaan Jua

16 April 2017   22:14 Diperbarui: 18 April 2017   07:55 582
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Warung Papadaan di Jalan Hang Tuah, Pekanbaru, Riau. (Foto : http://www.imgrum.org)

Masih membekas dalam ingatan saya kisah ‘Si Palui’ berjudul “Punah Sudah” di Banjarmasin Post edisi Rabu, 25 Juni 2014. Bercerita tentang Garbus yang meminta pendapat Palui untuk memberi nama warungnya. Palui mengusulkan “Papadaan”. Warung Papadaan Garbus itu ternyata laris. Sebagai rasa terimakasih, Garbus menggratiskan Palui makan dan minum, walau diam-diam tetap mencatat di buku bon . Anak Garbus yang tidak tahu ternyata menagih bon yang sudah banyak itu ke Palui.

Nama Papadaan dalam cerita itu mengingatkan saya pada masa remaja ketika masih tinggal di Kelayan B. Sekitar tahun 1980–1990, di seberang Masjid Muhammadiyah muara Kelayan, ada sebuah warung makan yang menyediakan mie dan nasi goreng. Nama warung itu “Papadaan”. Ayahlah yang sering mengajak saya makan di sana. Selain masakannya lezat, penjualnya ternyata ada hubungan keluarga. Tidak heran, porsi makanannya suka dilebihkan, minimal irisan ayam dan telurnya.

Belakangan saya juga menemukan sangat banyak warung makan menggunakan nama “Papadaan’. Bukan hanya di Kalimantan Selatan, melainkan juga di Kalimantan Tengah dan Timur. Bisa jadi pemilik warung memberi nama “papadaan’ agar pembeli merasa ‘nyaman’ ke warungnya. Nyaman karena merasa yang jualan pasti urang Banjar. Nyaman juga karena makanannya jelas halal tersebab urang Banjar umumnya beragama Islam. Dan yang pasti harganya bisa kurang lebih karena ‘papadaan jua’.

Nafas yang sama juga kita temukan pada Rumah Makan Padang yang bertebaran di seluruh Indonesia, bahkan mancanegera. Nama-nama rumah makan asal Sumatera Barat itu beberapa sangat bercirikan ‘papadaan’. Sebutlah ‘Bundo Kanduang’, ‘Mintuo’, ‘Kaluarga’, dan ‘Uda Denai”. Ada kesamaan strategi bawarung orang Minang dengan urang Banjar. Namun, seloroh teman saya, walaupun makan di rumah makan Bundo Kanduang, tetap bayar juga.

Kembali ke soal ‘papadaan’. Kamus Banjar Indonesia karangan Abdul Djebar Hapip (2001) memaknai kata ‘papadaan’ sebagai ‘konco, sesama teman,  sesama warga, anggota kelompok’. Makna ini secara sosiologi mengesankan adanya kebersamaan, baik karena ikatan keluarga, kesukuan, agama, pekerjaan, maupun nasib. Memang tidak setajam konsep primodialisme yang mengusung loyalitas berlebihan, tetapi ‘papadaan’ sudah sangat kuat dalam memaknai kebersamaan.

Dalam konteks budaya Banjar, istilah ‘papadaan’ ini sudah menjadi bagian dari kehidupan keseharian. Urang Banjar sering menggunakannya untuk menyatakan adanya kebersamaan. Papadaan jua, contohnya. Frase itu terlontar bila akan menetralkan sebuah permasalahan. Dalam perjodohan, akan dianggap mudah karena calon pasangannya ‘papadaan jua’. Begitu juga dalam perselisihan, akan bisa melunakkan emosi bila lawan bertikai ‘papadaan jua’.

Namun, pemahaman terhadap ‘papadaan’ ini bisa menjadi pisau bermata dua. Satu sisi, ada rasa penghargaan sebagai sesama urang Banjar, seperti contoh kasus Warung Papadaan tadi. Bahwa urang Banjar merasa aman dan nyaman bila singgah di rumah atau warung papadaannya. Namun, akan menjadi tidak baik, bila ada sikap membela atau membenarkan atas sebuah kemungkinan perbuatan salah yang dilakukan sesama urang Banjar juga karena dianggap papadaan.

Kita sering mendengar peribahasa yang biasa dilontarkan kepada pemerintah, dalam hal ini, aparat penegak hukum di negeri ini, “hukum tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas”. Ungkapan itu terlontar karena kekecewaan atas ketidakadilan dalam penegakan hukum. Yang berada ‘di bawah’ merasa selalu diperkarakan bila salah, sementara yang berada ‘di atas’ seperti tidak disentuh. Hal  semacam ini bisa dikatakan contoh aktualisasi ‘papadaan’ pada tataran lebih luas, Indonesia.

Sifat perkoncoan yang sangat kuat di tingkat aparat, pejabat, parlemen, dan politikus partai dari pusat sampai daerah di republik ini  menjadikan Indonesia selalu menuai masalah. Ketika ada yang berbuat salah, mereka saling melindungi karena ‘papadaan’ juga. Bisa jadi, mereka juga punya kesalahan yang sama, atau karena tidak ingin terlihat ‘bacakut papadaan’. Sesungguhnya inilah rasa ‘papadaan’ yang bejat dan kotor. Sebagai urang Banjar yang bersendikan agama Islam, setidaknya kita menjaga agar tidak mengotori makna ‘papadaan’ kebanggaan Banua itu. ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun