Mohon tunggu...
Zulfaisal Putera
Zulfaisal Putera Mohon Tunggu... Administrasi - Budayawan, Kolumnis, dan ASN

Berbagi dengan Hati

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Minroksabil

28 Agustus 2016   18:40 Diperbarui: 28 Agustus 2016   18:51 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Walau terlihat masih wacana, bahkan sebagian netizen menyebut ini berita hoax, tetapi info bakal dinaikkannya harga sebungkus rokok menjadi minimal Rp50.000 oleh pemerintah sudah menjadi isu mewah. Apalagi seminggu hari terakhir beberapa situs berita daring mengabarkan bahwa Presiden Jokowi akan menaikkan harga tersebut bulan September ini. Jika itu benar, tentu bisa menjadi berita buruk bagi para perokok.

Wacana ini muncul setelah Hasbullah Thabrany, Kepala Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia merilis hasil studinya tentang relasi perokok dengan harga rokok. Survei dilakukan melalui  telepon terhadap 1000 orang dari Desember 2015 s.d. Januari 2016. Hasilnya, 72 % perokok akan berhenti merokok kalau harga rokok di atas Rp50.000. Simpulannya, dengan menaikkan harga rokok, dapat menurunkan prevalensi perokok.

Hasil studi tersebut bisa saja didebat oleh yang berkepentingan dengan rokok. Kenyataan harga sebungkus rokok di Indonesia masih termurah di dunia, berkisar sekitar Rp17 ribu. Survei Deutsche Bank 2015 menyebutkan, harga rokok di Australia Rp244 ribu, Inggris Rp177 ribu, Amerika Rp172 ribu, sementara Singapura Rp120 ribu dan Malaysia Rp46 ribu per bungkus. Menariknya, negara dengan harga rokok termahal ternyata memiliki tingkat polusi udara akibat asap rokok terendah dan sebaliknya.

Banyak yang takmenyadari polusi asap rokok ini lebih berbahaya dibanding asap pembakaran, dari knalpot motor, misalnya. Hal ini akan menimbulkan penyakit paru-paru bagi perokok pasif yang menghirup asap dari perokok aktif di sekitarnya. Konon, efeknya lebih dahsyat dari perokok itu sendiri. Maka itu, ketika tahun 1999, saya yang bukan perokok terkena penyakit paru dan harus minum obat selama 6 bulan. Teman yang perokok menggoda saya lebih baik merokok saja karena bakal sakit juga.

Saya jadi teringat puisi yang ditulis penyair Taufiq Ismail tentang rokok dan perokok. Lariknya a.l. “Indonesia adalah sorga luar biasa ramah bagi perokok, tapi tempat siksa tak tertahankan bagi orang yang tak merokok” (bait 1), “Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu- na’im sangat ramah bagi perokok, tapi tempat siksa kubur hidup-hidup bagi orang yang tak merokok” (bait 4), dan “Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru, diam-diam menguasai kita” (bait 8). Puisi 30 bait itu berjudul “Tuhan Sembilan Senti”.

Terlepas dari itu saya menghargai para perokok. Namun, saya juga mengapresiasi rencana kenaikan harga rokok perbungkus sampai minimal Rp50 ribu itu. Tentu ada dampaknya: pemasukan negara dari cukai rokok akan meningkat tajam dan harga tembakau di tingkat petani akan ikut naik. Sebaliknya pabrik rokok akan terseleksi oleh pasar: yang sudah terkenal tetap bertahan. Sementara, rokok rokok murah akan bergerak di pasar gelap, baik sudah jadi maupun yang harus dilinting sendiri.

Para perokok memang tidak ada matinya walaupun harga dinaikkan. Mereka tetap akan menyiasati, minimal mengurangi frekuensi pembelian. Apalagi selama ini para perokok dikenal berani menantang bahaya. Lihat saja, sejak rokok dilebeli tulisan “Rokok dapat menyebabkan impotensi, kanker, serangan jantung dan gangguan kehamilan”, “Rokok membunuhmu”, sampai dipasang foto mengerikan akibat merokok, perokok sejati tetap merokok. Apalagi sekadar peringatan WHO bahwa setiap mengisap sebatang rokok mengurangi usia 11 menit!

Saya belum melihat ada ustad yang berani terbuka berkhotbah tentang bahaya rokok, apalagi mengharamkan rokok. Padahal jika khinzir atau daging babi diharamkan karena mengandung 15 penyakit, khamar diharamkan karena mengandung 25 penyakit dan memabukkan, mengapa sebatang rokok yang mengandung 4000 zat kimia beracun tak difatwakan. Apa karena para kyai kita pada umumnya adalah ahli hisap (pengisap rokok) dan dewan suro (suka merokok) maka hal ini tidak dipersoalkan? Wallahu alam!

Kita tunggu keberanian pemerintah untuk menaikkan harga rokok ini. Jika rokok sangat mahal, bukan hanya mengurangi jumlah perokok, tetapi  ada generasi yang terselamatkan, yaitu anak-anak dan remaja yang tak berkemampuan untuk membeli. Walaupun tak menutup kemungkinan masih ada orang-orang ‘minroksabil’, yang tak punya uang tapi tetap ingin merokok dengan cara ‘minta rokok sabilah’ kepada teman yang punya rokok. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun