Mohon tunggu...
Zulfaisal Putera
Zulfaisal Putera Mohon Tunggu... Administrasi - Budayawan, Kolumnis, dan ASN

Berbagi dengan Hati

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Lolongan Tanglong

26 Juli 2014   14:08 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:07 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Anda yang biasa menyaksikan Festival Tanglong dan Bagarakan Sahur di Banjarbaru tiap memasuki malam kesepuluh akhir bulan Ramadhan, untuk tahun ini harus gigit jari. Pemerintah Kota Banjarbaru atas rekomendasi Majelis Ulama Indonesia Kota Banjarbaru memutuskan untuk meniadakan kegiatan ini (mulai) tahun ini. Alasannya terasa sangat sumir, dalam rekomendasi itu disebutkan kegiatan tanglong dan bagarakan sahur banyak mudaharatnya!

Kita tentu sangat menyayangkan jika salah satu kebiasaan masyarakat banua menyemarakkan bulan suci Ramadhan dengan tanglong ini ditiadakan. Tanglong, bukan semata benda yang bercahaya gemerlap, tetapi sudah menjadi identitas budaya masyarakat dalam berkomunikasi dan berinteraksi antarsesama, terutama muslim di daerah ini, ketika kegembiraan berpadu dengan kebanggaan setelah menjalani dua pertiga Ramadhan.

Memang, secara fisik, tanglong bukanlah berasal dari kreativitas masyarakat Indonesia. Tanglong berasal dari Cina, yang berawal pada masa Dinasti Han (206SM-221). Ketika itu Maharaja Wudi ingin merayakan kemenangan ketentaraan bersama rakyat jelata dengan mengizinkan rakyat jelata bersuka ria sepanjang malam di ibu kota menyaksikan pelbagai lampu berhias atau tanglong. Pesta ini disebut dengan Yuanxiaojie atau Pesta Tanglong, semacam ‘Chinese Valentine’s Day’ yang dirayakan pada hari ke-15 dalam bulan lunar pertama.

Sementara di banua, budaya bertanglong merupakan metamorfosa dari kebiasaan badadamaran yang turun temurun dilakukan masyarakat suku Banjar. Badadamaran adalah kebiasaan memasang obor di depan rumah atau membawa keliling kampung pada malam-malam bulan Ramadhan, terutama setelah malam ke-21 Ramadhan. Belum adanya listrik dan bahan bakar saat itu, membuat warga berkreativitas memanfaatkan getah kayu damar untuk disulut jadi obor.

Ketika getah kayu damar mulai sulit diperoleh, warga memanfaatkan lembaran karet kering yang disulut dengan api. Untuk memudahkan menyalakan karet itu makan dibuatkan wadah dari batang pisang, pelepah daun rumbia, atau bambu. Lantas, muncullah kreativitas membentuk tempat membakar karet seperti kapal terbang, binatang, rumah-rumahan, dan sebagainya, hingga terlihat indah. Dari sinilah awal mulainya tradisi kegiatan perlombaan badadamaran.

Bahan untuk obor mengalami perkembangan dengan munculnya bahan lilin dan minyak tanah. Masyarakat mulai memasang batang lilin dan lampu teplok di tempat badadamaran. Kreativitas berkembang dengan membuatkan tempat semacam lampion dan diberi lampu, yang dikenal sebagai tanglong. Tempat ini makin bercahaya ketika listrik mulai masuk seluruh desa di Kalsel. Bola lampu besar sampai deretan bola lampu cabe warna warni mulai menghiasi hampir setiap rumah penduduk ketika malam Ramadhan.

Mengapa masyarakat tergerak untuk melakukan ini? Taklain karena imbauan para ulama dan pemimpi masyarakat saat itu agar umat Islam menyemarakkan datangnya ramadhan dengan memberikan penerangan di muka rumah masing-masing. Tujuannya agar umat yang ingin bepergian ke masjid atau ke surau untuk melaksanakan shalat tarawih berjemaah dan ibadah lainnya  mudah. Apalagi sepuluh terakhir Ramadhan, bulan mulai berkurang cahayanya dan cahaya tanglong menggantikannya.

Mengingat mulianya tujuan warga membuat tanglong dan dengan kreativitasnya menghiasinya dengan berbagai disain dan cahaya lampu, maka sejatinya budaya ini tetap dipertahankan. Paling tidak kembali ditata agar kegiatannya benar-benar membawa manfaat dan kegembiraan bagi masyarakat. Jika arak-arakkan tanglong dibawa keliling kota dengan motor dan mobil, maka dilokalisir cukup di wilayah-wilayah kecamatan atau minimal desa, boleh di darat atau pun di sungai.

Takperlulah kita gampang menyalahkan sebuah peristiwa budaya sebagai penyebab maraknya kemudharatan di sebuah kota. Peristiwa budayanya, seperti tanglong, tetap kita dukung. Akibat yang ditimbulkannya, seperti yang dikhawatirkan itu diminimalisir dengan melakukan kerjasama antara aparat dan masyarakat. Jangan sampai karena ingin mudahnya saja mengelola sebuah kota agar terlihat bebas penyakit masyarakat, tanglong kita jadi melolong keras karena sebagai tradisi yang berakar dirinya dihabisi. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun