Bisakah pelacuran dihapuskan dari bumi Antasari? Jawabannya bisa iya, bisa tidak. Pertanyaan ini begitu penting mengingat banua Banjar, baik secara histori maupun sosial, selama ini dikenal sebagai daerah yang masih menjadikan nilai nilai agama sebagai pijakan dalam tata kehidupan masyarakatnya. Namun, seperti di negara negara yang paling kuat agamanya sekali pun, pelacuran tetap hadir sebagai bagian dari dinamika kehidupannya.
Libur awal tahun baru 2017 tadi saya berkunjung ke Pasar Hanyar atau Pusat Perbelanjaan Sentra Antasari di Banjarmasin. Kondisinya sekarang sudah semrawut. Salah satunya adalah pertokoan di lantai dua sayap kanan pasar tersebut yang selama ini dikenal sebagai Pasar Kasbah. Selain ada tukang jahit, warung makan, penjual barang bekas, dan layanan pijat tradisional, di sana juga ada praktik prostitusi. Terlihat sejumlah wanita berpakaian minim menyemut di beberapa titik hiburan karaoke. Mereka menjadikan kios-kios takbertuan sebagai kamar praktik.
Menyaksikan pemandangan tersebut, saya jadi teringat peristiwa di pekan ketiga bulan Desember tahun 2016 lalu di kota Banjarbaru. Saat itu, pemko Banjarbaru melalukan pemulangan Pekerja Seks Komersial atau PSK yang selama ini berpraktik di wilayahnya ke daerah asalnya. Ada 100 PSK dari Jawa, 225 asal Kalsel, dan beberapa dari Kalteng dan Kaltara penghuni lokalisasi Pal 18, Pembatuan, dan Batu Besi yang dipulangkan dengan bantuan dana 5 juta lebih per orang untuk transport dan dana jaminan hidup. Tentu perlu kita apresiasi ikhtiar untuk membebaskan Banjarbaru dari prostitusi.
Apakah ini sudah menyelesaikan masalah? Secara kasat mata, iya. Paling tidak, sudah tidak ada lagi tempat lokalisasi di sana. Namun, apakah para PSK yang dipulangkan itu benar pulang dan pensiun. Itu soal lain. Para PSK yang praktik di Pasar Kasbah ternyata sebagian besar adalah limpahan dari penutupan beberapa tempat prostitusi di Banjarmasin, seperti komplek lokalisai Ria Begau di Gang Ganda Magfirah, Tembus Mantuil, dan Losmen Sinar Dodo di Kolonel Sugiono. Belum lagi PSK pelarian dari kejaran Satpol PP di Taman Sari seberang Mahligai Pancasila.
Saya pikir, masalah pelacuran di banua ini sama seperti yang terjadi di daerah lain di Indonesia, atau di negara mana pun, yaitu bukan sekadar masalah sosial, tetapi juga budaya. Kebanyakan wanita, atau pun pria – jangan lupa ada juga pelacur pria atau disebut gigolo – memasuki dunia prostitusi bukanlah soal kemiskinan semata, tetapi juga gaya hidup. Ada juga wanita kaya, seperti artis, yang menjalani profesi ini. Sudah sejak dulu, budaya (sex) menyimpang ini menjadi tradisi di beberapa suku dan tempat. Bahkan, sekarang malah menjadi bagian dari industri jasa.
Konon, prostitusi adalah profesi tertua di dunia. Manusia (wanita) telah ditukar dengan uang dan barang untuk seks selama ribuan tahun yang lalu. Beberapa catatan dapat dibaca pada artikel yang ditulis Rudyard Kipling (1888), William Josephus Robinson pada "The Oldest Profession in the World: Prostitution" (1929), dan Joseph McCabe "The Story of the World’s Oldest Profession" (1932). Jauh sebelumnya, dalam Alkitab digambarkan tentang orang Israel yang memiliki banyak selir, bisa dianggap sebagai pelacur atau istri yang lebih rendah.
Lantas bagaimana sejarah prostitusi di Banua Banjar? Belum ditemukan hasil riset tentang ini. Jika melihat gurita pelacuran itu mulai menyebar, pada umumnya disebabkan adanya ‘permintaan’ dari para lelaki yang jauh dari keluarganya, baik karena alasan pekerjaan atau pun perjalanan, maka tentu kedatangan para penjajah Belanda pada masa lalu turut mempelopori hal ini. Dalam sebuah catatan disebutkan, tahun 1876, Pemerintahan Belanda pernah mendirikan rumah rakit khusus Pelacur di Banjarmasin karena mewajibkan para pelacur memeriksa kesehatannya ke dokter setiap pekan.
Kita boleh menyatakan bahwa prostitusi itu perbuatan terkutuk, penyakit masyarakat (Pekat), bahkan dengan usaha mengganti beberapa kali istilah pelacur, menjadi Wanita Tuna Susila (WTS), Pramunikmat, sampai PSK, maka selama ada demand, supply pelacur masih ada. Yang perlu dipulangkan sebenarnya bukan hanya fisik para PSK itu, tetapi sifat ‘lacur’, atau buruk laku, manusia, pemakai atau pun penyedia. Dan ini bukan pekerjaan mudah. Bisa jadi sampai kiamat pun tak akan bisa. Tersebab, yang bisa mengubah sesuatu yang sudah menjadi budaya itu hanya satu, yaitu hijrah atau kematian. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H